Maklumat

Tulisan-tulisan terkini dapat juga didapatkan di halaman Kompasiana di alamat https://kompasiana.com/didikaha

Khusus untuk konten-konten sastra seperti puisi, cerpen dan esai silahkan kunjungi http://blog.edelweis-art.com. Terima kasih (Penulis)

Tampilkan postingan dengan label HUMANIORA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HUMANIORA. Tampilkan semua postingan

Kamis, September 14, 2017

Asmaradana: Kekalahan dan Kemenangan Hidup

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang,
kaulupakan wajahku, kulupakan wajahmu.

Entah mengapa, setiap kali saya teringat dengan sajak Goenawan Mohamad yang bertajuk Asmaradana ini, ada keyakinan yang kian mengental bahwa hidup bukanlah soal kalah atau menang. Sejak pertama kali saya membaca sajak ini, setiap kali saya menggumamkannya--yang kadang saya rasakan seperti merapal mantra--saya semakin menyadari bahwa hidup adalah kodrat yang mesti kita jalani, apapun hasilnya: kalah atau menang. Kalah atau menang bukan soal, yang menjadi soal adalah bagaimana kita menjalani dan menghadapi hidup itu.

Seperti Damarwulan yang mesti pergi ke medan laga, meninggalkan kembali Anjasmara, menunaikan titah Ratu Kencanawungu untuk melawan Minakjinggo. Dan ia tahu, itu artinya akhir hubungannya dengan Anjasmara. Karena, kalah atau menang, ia akan tetap kehilangan Anjasmara. Kalah tanding dengan Minakjinggo, berarti adalah kematian. Memenangkan pertandingan, berarti ia akan menikah dengan Ratu Kencanawungu.

Demikian Damarwulan, demikian pula kehidupan kita. Pada akhirnya kita harus mengikuti alur yang telah digariskan oleh-Nya. Tak ada kalah dan memang dalam kehidupan kita. Kalah dan menang hanya cara pandang dan keberanian kita memaknainya. Seperti Damarwulan. Seperti Anjasmara.

Sabtu, April 23, 2016

Adab Kotor Seekor Koruptor

Catatan Pengantar: Berikut adalah salinan teks orasi yang ditulis dan dibawakan oleh Harry Tjahjono pada aksi "Adab Kotor Seekor Koruptor" yang diadakan di Gedung KPK Jakarta pada Jum'at, 22 April 2016 yang lalu oleh Gerakan Anti Korupsi (GAK), GARAJAS, Dapoer Sastra Tjisaoek (DST), Persatuan Kartunis Indonesia (PAKARTI) dan Indonesian Street Art Database (ISAD). Aksi ini, yang didukung juga oleh seniman mural asal New York (AS), Sonic Bad, sebagaimana bisa dibaca pada teks orasi di bawah, adalah sebagai (salah satu) aksi perlawanan terhadap segala bentuk tindak korupsi termasuk eufimisme penyebutan pelaku tindak korupsi selama ini, yang semestinya disebut dengan 'Seekor Koruptor'. Salam! 



Hadirin yang terhormat. 
Assalamualaikum wr. wb. 

Saya didaulat oleh kawan-kawan seniman untuk mencoba menjelaskan Mengapa Terpidana Korupsi Layak Disebut Seekor Koruptor. Hal tersebut sesungguhnya dan terutama berkaitan dengan pemberitaan media massa yang selama ini cenderung diskriminatif, bahkan tidak adil, terhadap pelaku tindak pidana kriminal biasa dengan tindak pidana korupsi. Dengan kata lain, media massa yang gemar membesar-besarkan predikat warga masyarakat pelaku tindak pidana kriminal biasa, dan sebaliknya membikin sumir tindak pidana kriminal yang dilakukan aparat penegak hukum dan juga koruptor.

Sebagai contoh, kalau polisi berhasil menangkap dua atau tiga anak muda yang mengaku mencuri lebih dari tiga sepeda motor, misalnya, maka diberitakanlah itu di bawah judul "Komplotan Curanmor Ditangkap". Bahkan jika salah satu pencurinya masih berstatus pelajar, maka judul beritanya "Pelajar Anggota Sindikat Curanmor Dibekuk".

Kalau polisi hanya menangkap seorang perampok karena beberapa temannya berhasil buron, beritanya bisa berjudul "Gembong Komplotan Perampok Berhasil Diringkus", atau "Otak Perampokan Sadis Dibekuk" sambil terkadang ditambahkan bahwa kaki si Gembong terpaksa didor karena melawan saat ditangkap dan lain sebagainya.

Begitu juga kalau ada ibu-ibu, tukang ojek atau pengangguran tertangkap menjual beberapa amplop ganja atau sebutir dua butir pil ekstasi atau satu dua "paket" narkoba, maka judul beritanya bisa berbunyi "Kurir Sindikat Narkoba Diringkus" atau judul yang lebih hebat dan lebih seram lagi.

Lain halnya jika ada polisi, hakim, atau jaksa yang terangkap menerima suap, memakai narkoba, atau melakukan tindak kejahatan lainnya, maka selain disebut oknum juga dikategorikan sebagai polisi nakal, hakim nakal, jaksa nakal. Bahkan pernah ada wanita jaksa yang menjual barang bukti berupa ribuan butir pil ekstasi, dan laki-laki jaksa yang tertangkap tangan menerima suap milyaran rupiah, juga hanya disebut sebagai jaksa nakal. Seolah-olah tindak kriminal yang mereka lakukan itu sama dengan perbuatan anak-anak mencuri jambu tetangga belaka.

Sedangkan terhadap pelakuk tindak korupsi, media massa bersikap lebih santun. Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang belum divonis bersalah cukup disebut tersangka korupsi, setelah divonis bersalah disebut terpidana korupsi.

Padahal, sesungguhnya terpidana korupsi layak disebut seekor koruptor. Sebab, bukankah sejak dulu para karikaturis di media massa selalu menggambarkan koruptor sebagai tikus? Lalu kenapa disebut terpidana korupsi dan bukan seekor koruptor? Apalagi jika gagasan Mahfud MD membuat "kebun koruptor" menjadi kenyataan, sebutan seekor lebih cocok untuk digunakan.

Saudara-saudara yang terhormat
Para sahabat media massa dan orang-orang baik di negeri ini
Kaum petani di dusun-dusun sunyi yang terbakar matahari
Kaum nelayan yang dihempas gelombang kemiskinan
Kaum buruh di kampung-kampung kumuh kota yang angkuh
Rakyat yang sudah terlalu lama hidup melarat
Inilah saatnya kita bersatu dan bergerak
Kinilah saatnya kita melawan dan menjelaskan
Bahwa kita tidak bisa terus-menerus diremehkan
Bahwa kita tidak bisa terus-menerus direndahkan
Kesabaran kita sudah terlalu sering dilukai
Kepercayaan kita sudah terlalu sering dikhianati
Kedaulatan kita dicaplok dan dimanipulsi
Harga diri kita disamakan dengan pengemis
yang disedekahi uang receh hasil korupsi

..................................................

Saudara-saudara yang berdaulat
Rakyat kecil yang senasib sependeritaan
Inilah saatnya kita bersatu, bergerak dan melawan
Menyingkirkan pemimpin-pemimpin yang korup
dan merampok duit rakyat
Menyingkirkan pejabat-pejabat yang nyolong harta Negara
Menyingkirkan politisi-politisi yang tidak bermutu
dan bermoral busuk
Menyingkirkan wakil rakyat yang sibuk memperkaya dirinya sendiri
Inilah giliran kita tampil menjadi juru bicara
yang meneriakkan luka-luka kehidupan rakyat jelata
Kita tidak bisa hanya tinggal diam, Saudara
Dan kita tidak bisa lagi terus-menerus diremehkan.
Kita tidak bisa lagi terus-menerus direndahkan.
Kita sudah terlalu lama terhina kesabaran kita sendiri.
Kita sudah terlalu lama menghina nyali kita sendiri
Kita harus bersatu, bergerak,
dan menabuh gendang perlawanan!

Terima kasih
Wassalamualaikum wr. wb. 

Jakarta, 22 April 2016
Harry Tjahjono





Sabtu, Januari 12, 2008

Saat Cuaca Rumah tidaklah Cerah

Harapan setiap orang, siapapun, termasuk saya dan Anda, pastilah ingin 'langit' yang menaungi kita selalu cerah. Apalagi di saat hati dan pikiran kita sedang letih dan lelah. Ah, begitu teduhnya kita berada di bawah naungnya. Apalagi di sekitar kita, 'pepohonan' rindang menyejukkan.

Namun, kodratinya, langit pun takkan selamanya cerah. Ada pula saat ia menggumpalkan mendung. saat ia mengguyurkan hujan yang mengepung dan mengguyur kita dari segala arah. Ada saatnya pula ia begitu panas, menebarkan dan menghujamkan terik ke tubuh kita.

Demikian, cuaca di dalam rumah kita pun. Saat kita telah dijenuhkan dengan segala rutinitas dan kesibukan kerja dan berbagai urusan di luar, pulang ke rumah, kita tentu dengan membawa harapan adanya kecerahan dan kesejukan di sana. Bertemu dan berkumpul kembali dengan keluarga. Bercanda ria dengan istri dan anak-anak tercinta. Toh, kadang cuaca rumah yang kita dapati adalah sebaliknya. Istri yang muram tak ceria. Anak-anak yang gaduh, berlarian kesana-kemari, bermain-main seenaknya sendiri. Sementara keadaan rumah, tak ubahnya seperti kapal pecah.

Di lain sisi, sang istri pun merasakan cuaca yang sama. Setelah seharian disibukkan dengan berbagai pekerjaan dan urusan rumah: memasak, mengurus si kecil dan si kakak yang mulai nakal, membereskan ini-itu--yang seringkali tak pernah sempat terselesaikan ataupun diacak-acak kembali oleh anak-anak. Ia mengharapkan kehadiran suami sebagai tempat pelipur lara. Tempat bercerita dan menyandarkan segala keluh. Namun, yang didapatinya adalah cemberut dan muka kusut sang Arjuna yang ditekuk tak beraturan.

Demikian juga anak-anak. Mengharap kehadiran sang ayah, menggenapi keceriaan bermainnya.

Lalu, siapa yang salah? Siapa yang mesti disalahkan?

Nobody! Nobody's wrong!! Karena semuanya telah mengerjakan dan menjalankan kewajiban dan urusannya masing-masing. Tidak ada yang salah! Suami telah bekerja. Istri telah bekerja. Anak-anak pun, bermain-main, merupakan pekerjaannya.

Hal-hal yang serta-merta terjadi, berjalan secara berbarengan pada satu waktu, laju dan tempat yang sama, memang akan mudah menciptakan gesekan-gesekan dan benturan-benturan. Gesekan-gesekan dan benturan-benturan yang tidak jarang menimbulkan percikan-percikan.

Kepenatan suami sepulang bekerja, kejenuhan sang istri seharian mengurus rumah, kebosanan anak-anak bermain-main--yang kadang juga disertai omelan sang ibu, berbaur.

Menghindari gesekan-gesekan dan benturan-benturan itulah yang semestinya dilakukan masing-masing pihak. Dan, pengendalian emosi & pikiran, merupakan kunci untuk melaksanakanya. Jauhkan prasangka-prasangka yang tidak layak. Berusahalah untuk saling mengerti dan memahami kondisi yang lain, bahwa bukan hanya dirinya sendiri yang telah lelah, jenuh dan bosan (dalam hal ini adalah suami dan istri, karena anak-anak, dengan kondisi yang dimiliki, mempunyai 'kemerdekaan' untuk melakukan apapun).

Yah, tidak mudah memang. Tapi, seberat apapun sebuah rintangan, jika kita tak pernah mencoba dan berusaha menyingkirkannya, jangan berharap ia akan bergeming dengan sendirinya.

Kalau toh pada akhirnya gesekan-gesekan dan benturan-benturan terjadi, itu pun merupakan suatu kewajaran. Toh, kita masih bisa menghindari untuk tidak terjadinya gesekan-gesekan dan benturan-benturan berikutnya. Untuk meghindari percikan-percikan yang menyakitkan...

Salam!!


PS. Buat bundanya Nurul: thanks for your love!
Gak ada kamu, ada yang terasa hampa di relung dada ini..... :)

Selasa, Desember 11, 2007

LILIN YANG TAK (BISA) BERCAHAYA


“BAIKNYA
kita akhiri saja perkawinan kita,” Suta tiba-tiba saja menghentikan makan paginya. Dibiarkannya makanan tersisa banyak di piringnya. Ia tatap wanita di hadapannya, istrinya, yang hanya dapat mengerutkan kening seraya menghentikan pula kunyahan di mulutnya.

“Ya, aku rasa, kita sebaiknya mengakhiri perkawinan kita,” Suta mengulang ucapannya, menegaskan pernyatannya.

“Tapi kenapa kita harus mengakhiri perkawinan kita? Toh selama ini kita baik-baik saja, bukan? Aku mencintaimu dan sebaliknya, kau mencintaiku juga. Iya, kan?” sang istri masih menatap Suta.

Suta menghela nafasnya. Dalam. Menahannya beberapa saat, lalu menghembuskannya kembali dengan berat. Sejenak ia alihkan pandangan ke rimbunan bunga-bunga yang nampak dari jendela samping rumah.

“Kau mencintaiku juga, kan?” sang istri mengulang ucapannya. Masih menatap Suta.

“Atau, karena aku tak bisa memberimu keturunan? Karena aku …?”

“Bukan. Bukan itu!” Suta mengalihkan kembali pandangannya, menatap kembali istrinya dengan kuat. “Aku tak pernah menganggap ketidakhadiran anak dalam perkawinan kita sebagai kekurangan darimu. Justeru aku yang merasa sangat berdosa padamu.”

“Berdosa padaku?” sang istri kian tak mengerti.

Sejenak, sekali lagi, Suta kembali menghela nafasnya. Dalam. Dan berat.

“Ya, karena terus terang, aku tak pernah bisa mencintaimu!

“Maafkan aku. Aku tak bisa lagi terus-menerus menghianatimu, menipumu.

“Tujuh tahun perkawinan kita, aku hanya merasa seperti hidup dalam panggung opera.

“Aku hidup hanya sebagai pemain sandiwara.

“Aku memang selalu berusaha mencintaimu, mencintai wanita yang dipilihkan Ibu untuk menjadi istriku.

“Aku berusaha menuruti ucapan Ibu bahwa kau adalah wanita baik, yang pasti bisa mengurus suami, mengurusku, mencintaiku.

“Dan memang aku menemukan kebenarannya.

“Kau memang wanita baik. Penuh kejujuran. Kesetiaan.

“Tapi, entahlah. Saat aku mencoba mencintaimu, selalu saja aku tak mampu.

“Aku selalu gagal.

“Aku tak bisa!”

Sang istri pun menangis. Lelaki yang telah bertahun-tahun dikenalnya sebagai sosok yang penuh kasih, pelindung, penyayang itu, hingga ia sampai lupa untuk menanyakan soal cinta padanya—hingga baru saat ini ia menanyakannya, tiba-tiba menyatakan kalau ia tak pernah mencintai dirinya.

Sang istri menangis. Namun bukan karena kehilangan cintanya. Bukan karena ternyata keliru mengartikan sikap-sikap lelakinya itu selama ini.

Ia menangis, karena kini ia baru tahu ada kepedihan yang begitu sangat, mengganjal di hati Suta. Beban, yang bertahun-tahun menghimpit perasaannya, memasungcintanya. Dan ia tak pernah dapat merasakannya. Seperti lilin, ia merasa tak pernah bisa memberikan cahaya pada cintanya itu.

“Dan wanita itu?” sang istri masih menatap Suta, menatap suaminya, dan membiarkan matanya tetap basah.

“Ibu tak pernah merestui hubungan kami.

“Bertahun-tahun aku mencoba meyakinkan Ibu bahwa ia tidaklah seperti bapaknya; lelaki yang pernah menyakiti Ibu, yang pernah menjadi kekasih Ibu namun kemudian meninggalkannya dan menikah dengan wanita lain.”

“Dan kau menyerah?”

“Aku tak pernah ingin menyakiti Ibu. Apalagi setelah meninggalnya Bapak saat aku masih balita, Ibulah yang memikul segala beban hidupku.

“Ibu begitu menyayangiku. Selalu memenuhi apa yang kuinginkan. Apapun yang kuminta selalu diturutinya.

“Kecuali wanita itu. Laras.”

“Dan sekarang, karena Ibu telah tiada …” sang istri sengaja menggantungkan ucapannya. Ia masih saja melekatkan pandangannya, menatap lelakinya itu.

Lima bulan yang lalu, Laras pergi untuk selama-lamanya, karena kanker. Dan ia tak pernah menikah.”

Sang istri mengangkat tubuhnya. Menuju jendela. Menebarkan pandangan ke rimbunan bunga-bunga di halaman.

Dan pada pagi berikutnya, mereka pun tak lagi satu meja. Dan mereka tak pernah lagi makan pagi bersama.

Sampai hari-hari terus berlalu. Tahun-tahun terus berlalu.

Mereka kini memilih jalannya sendiri-sendiri.

Suta memutuskan untuk berlayar dan mengembara. Mengarungi samudera demi samudera. Menjelajahi sudut demi sudut dunia.

Sang istri memutuskan untuk membuka panti asuhan.

Mereka memutuskan untuk tetap sendiri-sendiri, sampai akhir hidupnya.

Kamis, Juli 26, 2007

MASA LALU ...


KADANG
, saat membuka kembali lembaran-lembaran "masa lalu", atau menyusuri kembali jalan-jalan, menyinggahi kembali tempat-tempat, ataupun menikmati kembali hal-hal yang dulu pernah terakrabi, serasa ada yang menyeri di dada. Entah apa. Serasa ada yang menggumpal pula dalam lubuk mata. Semacam kerinduan dan ... rasa kehilangan.

Yah.. gedung-gedung sekolah, tanah-tanah lapang dan jalan-jalan setapak tempat dulu bermain-main dan berlari-lari saat kanak-kanak (yang sebagiannya kini telah hilang), film-film kartun, diary, foto-foto, ...

Kadang, mengingat kembali semua kenangan yang pernah dijalani, ada keinginan pula untuk mengulangnya kembali: meleburkan kembali diri pada peristiwa-peristiwa itu ... Terlebih di saat-saat kepenatan dan keletihan hidup yang kadang tiba-tiba menyergap tanpa peduli sekarang ini.

Ah, betapa nikmatnya barangkali dapat menikmati semua itu kembali. Menikmati hidup dengan kenakalan-kenakalan kecil yang polos. Dengan peristiwa-peristiwa baru yang tak pernah menawarkan kebosanan. Dengan rutinitas yang selalu terindukan dan terimpikan pada malam hari.

Yah.. tapi waktu pun memang adalah sebuah garis bujur ke depan yang, meski kadang tidak lurus namun tak pernah mempunyai lengkungan ke belakang. Emosi dan perasaan selalu tumbuh seperti cemara yang kadang gugur dan bersemi namun tak pernah bisa kembali menjelma sebagai tunas ataupun mengecil kembali.

Dan kenangan-kenangan itu, masa lalu itu, memang barangkali adalah hal yang sepatutnya cukup dimiliki, sekarang, sebagai pelepas lelah dan kepenatan hati. Kembali ke masa lalu adalah kembali menjalani hidup sekarang, hidup saat ini. Karena peristiwa-peristiwa sekarang, kelak akan menjadi masa lalu pula.

Biarlah "masa lalu" kita nikmati terus kesinambungannya dalam kebugaran semangatnya, dalam kesukacitaan emosinya. Hingga kelak, seluruh "masa lalu" kita, kan dapat terwariskan pada anak-anak dan cucu-cucu kita, sebagai dongeng dan cerita yang bisa mewariskan pula semangat yang sama pada mereka saat menyimaknya, seperti yang kita alami saat merangkainya, penuh sukacita!

Rabu, Juli 25, 2007

PERNYATAAN SIKAP SASTRAWAN ODE KAMPUNG (2)

Serang, Banten, 20-22 Juli 2007:

Kondisi Sastra Indonesia saat ini memperlihatkan gejala berlangsungnya dominasi sebuah komunitas dan azas yang dianutnya terhadap komunitas-komunitas sastra lainnya. Dominasi itu bahkan tampil dalam bentuknya yang paling arogan, yaitu merasa berhak merumuskan dan memetakan perkembangan sastra menurut standar estetika dan ideologi yang dianutnya. Kondisi ini jelas meresahkan komunitas-komunitas sastra yang ada di Indonesia karena kontraproduktif dan destruktif bagi perkembangan sastra Indonesia yang sehat, setara, dan bermartabat.

Dalam menyikapi kondisi ini, kami sastrawan dan penggiat komunitas-komunitas sastra memaklumatkan Pernyataan Sikap sebagai berikut:

1. Menolak arogansi dan dominasi sebuah komunitas atas komunitas lainnya.
2. Menolak eksploitasi seksual sebagai standar estetika.
3. Menolak bantuan asing yang memperalat keindonesiaan kebudayaan kita.

Bagi kami sastra adalah ekspresi seni yang merefleksikan keindonesiaan kebudayaan kita di mana moralitas merupakan salah satu pilar utamanya. Terkait dengan itu sudah tentu sastrawan memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat (pembaca). Oleh karena itu kami menentang sikap ketidakpedulian pemerintah terhadap musibah-musibah yang disebabkan baik oleh perusahaan, individu, maupun kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat, misalnya tragedi lumpur gas Lapindo di Sidoarjo. Kami juga mengecam keras sastrawan yang nyata-nyata tidak mempedulikan musibah-musibah tersebut, bahkan berafiliasi dengan pengusaha yang mengakibatkan musibah tersebut.

Demikianlah Pernyataan Sikap ini kami buat sebagai pendirian kami terhadap kondisi sastra Indonesia saat ini, sekaligus solidaritas terhadap korban-korban musibah kejahatan kapitalisme di seluruh Indonesia.

Kami yang menyuarakan dan mendukung pernyataan ini:
01. Wowok Hesti Prabowo (Tangerang) 02. Saut Situmorang (Yogyakarta) 03. Kusprihyanto Namma (Ngawi) 04. Wan Anwar (Serang) 05. Hasan Bisri BFC (Bekasi) 06. Ahmadun Y. Herfanda (Jakarta) 07. Helvy Tiana Rosa (Jakarta) 08. Viddy AD Daeri (Lamongan) 09. Yanusa Nugroho (Ciputat) 10. Raudal Tanjung Banua (Yogya) 11. Gola Gong (Serang) 12. Maman S. Mahayana (Jakarta) 13. Diah Hadaning (Bogor) 14. Jumari Hs (Kudus) 15. Chavcay Saefullah (Lebak) 16. Toto St. Radik (Serang) 17. Ruby Ach. Baedhawy (Serang) 18. Firman Venayaksa (Serang) 19. Slamet Raharjo Rais (Jakarta) 20. Arie MP.Tamba (Jakarta) 21. Ahmad Nurullah (Jakarta) 22. Bonnie Triyana (Jakarta) 23. Dwi Fitria (Jakarta) 24. Doddi Ahmad Fauzi (Jakarta) 25. Mat Don (Bandung) 26. Ahmad Supena (Pandeglang) 27. Mahdi Duri (Tangerang) 28. Bonari Nabonenar (Malang) 29. Asma Nadia (Depok) 30. Nur Wahida Idris (Yogyakarta) 31. Y. Thendra BP (Yogyakarta) 32. Damhuri Muhammad 33. Katrin Bandell (Yogya) 34. Din Sadja (Banda Aceh) 35. Fahmi Faqih (Surabaya) 36. Idris Pasaribu (Medan) 37. Indriyan Koto (Medan) 38. Muda Wijaya (Bali) 39. Pranita Dewi (Bali) 40. Sindu Putra (Lombok) 41. Suharyoto Sastrosuwignyo (Riau) 42. Asep Semboja (Depok) 43. M. Arman AZ (Lampung) 44. Bilven Ultimus (Bandung) 45. Pramita Gayatri (Serang) 46. Ayuni Hasna (Bandung) 47. Sri Alhidayati (Bandung) 48. Suci Zwastydikaningtyas (Bandung) 49. Riksariote M. Padl (bandung) 50. Solmah (Bekasi) 51. Herti (Bekasi) 52. Hayyu (Bekasi) 53. Endah Hamasah (Thullabi) 54. Nabila (DKI) 55. Manik Susanti 56. Nurfahmi Taufik el-Sha’b 57. Benny Rhamdani (Bandung) 58. Selvy (Bandung) 59. Azura Dayana (Palembang) 60. Dani Ardiansyah (Bogor) 61. Uryati zulkifli (DKI) 62. Ervan ( DKI) 63. Andi Tenri Dala (DKI) 64. Azimah Rahayu (DKI) 65. Habiburrahman el-Shirazy 66. Elili al-Maliky 67. Wahyu Heriyadi 68. Lusiana Monohevita 69. Asma Sembiring (Bogor) 70. Yeli Sarvina (Bogor) 71. Dwi Ferriyati (Bekasi) 72. Hayyu Alynda (Bekasi) 73. herti Windya (Bekasi) 74. Nadiah Abidin (Bekasi) 75. Ima Akip (Bekasi) 76. Lina M (Ciputat) 77. Murni (Ciputat) 78. Giyanto Subagio (Jakarta) 79. Santo (Cilegon) 80. Meiliana (DKI) 81. Ambhita Dhyaningrum (Solo) 82. Lia Oktavia (DKI) 83. Endah (Bandung) 84. Ahmad Lamuna (DKI) 85. Billy Antoro (DKI) 86. Wildan Nugraha (DKI) 87. M. Rhadyal Wilson (Bukitingi) 88. Asril Novian Alifi (Surabaya) 89. Jairi Irawan ( Surabaya) 90. ... 91. Langlang Randhawa (Serang) 92. Muhzen Den (Serang) 93. Renhard Renn (Serang) 94. Fikar W. Eda (Aceh) 95. Acep Iwan Saidi (Bandung) 96. Usman Didi Khamdani (Brebes) 97. Diah S. (Tegal) 98. Cunong Suraja (Bogor) 99. Muhamad Husen (Jambi) 100. Leonowen (Jakarta) 101. Rahmat Ali (Jakarta) 102. Makanudin RS (Bekasi) 103. Ali Ibnu Anwar ( Jawa Timur) 104. Syarif Hidayatullah (Depok) 105. Moh Hamzah Arsa (Madura) 106. Mita Indrawati (Padang) 107. Suci Zwastydikaningtyas (Bandung) 108. Sri al-Hidayati (Bandung) 109. Nabilah (DKI) 110. Siti Sarah (DKI) 111. Rina Yulian (DKI) 112. Lilyani Taurisia WM (DKI) 113. Rina Prihatin (DKI) 114. Dwi Hariyanto (Serang) 115. Rachmat Nugraha (Jakarta) 116. Ressa Novita (Jakarta) 117. Sokat (DKI) 118. Koko Nata Kusuma (DKI) 119. Ali Muakhir (bandung) 120. M. Ifan Hidayatullah (Bandung) 121. Denny Prabowo (Depok) 122. Ratono Fadillah (Depok) 123. Sulistami Prihandini (Depok) 124. Nurhadiansyah (Depok) 125. Trimanto (Depok) 126. Birulaut (DKI) 127. Rahmadiyanti (DKI) 128. Riki Cahya (Jabar) 129. Aswi (Bandung) 130. Lian Kagura (Bandung) 131. Duddy Fachruddin (Bandung) 132. Alang Nemo (Bandung) 133. Epri Tsaqib Adew Habtsa (Bandung) 134. Tena Avragnai (Bandung) 135. Gatot Aryo (Bogor) 136. Andika (Jambi) 137. Widzar al-Ghiffary (Bandung) 138. Azizi Irawan Dwi Poetra (Serang)

Senin, Juli 16, 2007

DONGENG ISTANA KACA


EVA sungguh menyesalkan sikap dan keputusan Redo yang tiba-tiba memutuskan hubungan dengan dirinya. Padahal, sebelumnya, tidak ada satu hal pun yang melanda mereka. Hubungan mereka baik-baik saja adanya.


Ia pun mencari-cari alasan apa sebenarnya yang membuat lelaki yang selama ini nampak tegar itu tiba-tiba lemah dan menyerah. Dan ia pun lebih menyesalkan Redo, saat ia tahu ternyata keputusan itu tidak lebih hanya karena tumor yang diderita kekasihnya itu—yang bahkan tidak pernah ia ketahui karena selalu disembunyikan Redo sampai akhirnya penyakit itu kambuh lagi dan mengantar Redo ke rumah sakit sekarang.


Eva menyesalkan pemikiran Redo tentang cinta yang dianggapnya hanya gula-gula.


“Kamu keliru. Kamu pikir, aku mencintaimu hanya untuk bersenang-senang?” Eva menatap tajam kekasihnya yang terbaring lesu di kasur putih.


“Tidak! Itu salah!


“Cinta bukan hanya hanya cerita soal keindahan, kesenangan. Tapi cinta juga adalah cerita tentang keletihan hidup, keperihan hidup, beban hidup …


“Seperti saat kau beri aku dongeng tentang istana kaca yang indah, maka sekarang, saat kau hanya bisa memberiku cerita sedih hidupmu, aku pun akan setia menyimaknya. Tetap setia di sisimu, menemanimu, mencintaimu, sampai kau sembuh kembali dan, kau pun bisa mengulang kembali cerita tentang istana kaca itu.”


“Tapi aku tidak bisa lagi memberimu kebahagiaan? Toh aku kini hanya seorang yang lemah yang bahkan tidak punya keberdayaan hanya untuk menghadapi satu masalahku sendiri!”


“Kebahagiaan? Kamu pikir apa itu kebahagiaan?


“Justeru dengan aku tidak bisa menemanimu di saat-saat kamu sedang sakit dan tidak berdaya seperti sekarang ini, aku sungguh merasa amat tidak bahagia.”


Ya. Bagi Eva, kebahagiaan memang bukan hanya karena merasakan manisnya cinta, tapi kebahagiaan juga adalah saat ia bisa memberi sesuatu yang berarti pada seseorang yang ia cintai, pada kekasihnya itu. Dapat menjadi teman saat ia butuh dan sendirian. Seperti sekarang. Dan cinta baginya memang bukan hanya dongeng istana kaca. Tapi cinta juga adalah cerita tentang susahnya hidup, soal sakit dan juga ketidakbedayaan. Dan justeru dengan cinta, cerita tentang susahnya hidup, tentang sakit dan segala beban, jadi seperti cerita tentang kemewahan yang gemerlap dan tanpa beban di istana kaca.



WARNA-WARNI CINTA*


LIMA
hari sudah Rendi terbaring koma di rumah sakit. Dan, tidak ada tanda-tanda ia akan siuman ataupun pulih kembali. Tubuhnya begitu lemah. Nafasnya begitu lelah.


Ya, Rendi tidak punya kekuatan lagi. Tidak punya semangat lagi untuk meneruskan hidupnya. Ia tidak punya harapan lagi untuk hidup. Satu-satunya harapan yang ia punya, ternyata pun adalah cuma sebuah harapan semu: Arin.


Ya, sekian waktu ia cintai perempuan itu. Sekian waktu dengan penuh harapan, semangat. Arin adalah cintanya. Semangat hidupnya. Baginya, tidak ada yang lebih berarti dalam hidup selain dapat terus bersama-sama dengan Arin. Ia tidak bisa membayangkan jika perempuan itu ternyata tidak bisa membalas cintanya. Baginya, Arin adalah segala-galanya.


Dan, benar. Saat kemudian ia mengungkapkan isi hatinya pada Arin, ia pun tak dapat menerima kenyataan ketika kemudian Arin benar-benar menolaknya.


Ia pun patah arang. Kecewa. Marah. Meski tak tahu pada siapa mesti marah. Pada Arin? Ah, ia tidak punya kekuatan untuk menyakiti perempuan itu. Meski, apa yang dilakukan perempuan itu, sungguh telah menyakiti hatinya.


Hari-hari pun kemudian ia lalui dengan hampa. Tanpa asa. Kosong. Tanpa tujuan. Penolakan Arin baginya adalah akhir dari segalanya. Hingga, saat kemudian sebuah kecelakaan mengantar dirinya ke rumah sakit, ke titik koma hidupnya, ia pun tidak menyesal jika lantas mesti mati. Baginya, keberakhiran cintanya pada Arin sama saja dengan keberakhiran hidup.


Namun, lain Rendi dalam menyikapi cinta, lain pula Arin. Bagi Arin, cinta itu ibarat pakaian. Jika memang tidak pas dikenakan, kenapa pula mesti dipaksakan? Dan seperti pakaian, cinta, kalaupun cocok baginya tapi suatu kali menjadi terasa tidak nyaman, tidak pas lagi baginya, saatnya pula mesti dilepaskan.


Dan bagi Arin, Rendi adalah pakaian yang tidak sesuai baginya.


Hingga, saat kemudian ia tahu Rendi di rumah sakit dan tengah koma karena dirinya, ia pun tidak sedih. Tidak menyesal. Toh, ia setia menemani dan menunggui lelaki itu siuman. Ia berharap, saat siuman, Rendi bisa lebih memahami dan menerima kenyataan.


Namun, siapa berhak menyalahkan mereka? Siapa berhak menyalahkan Rendi jika ia tidak bisa melepaskan diri dari belenggu cinta Arin? Siapa berhak menyalahkan Arin jika ia anggap Rendi sekedar seseorang yang kebetulan lewat dan berpapasan dengan dirinya di sebuah jalan simpang kehidupan yang kemudian ia tinggalkan kembali, ia lupakan kembali, karena ia rasa arah mereka saling berseberangan dan tidak ada yang mesti terpaksa diubah.


Cinta memang sebenarnya tak mempunyai warna. Merah, kuning, hijau, atau biru, atau kelabu, atau bahkan hitam, itu hanya bias yang kita rasakan karena perbedaan cara dalam memandang dan menerjemahkannya.


Dan Rendi, Arin, juga kita semua, berhak untuk memilih warna cinta masing-masing. Yang tidak harus sama dengan yang lain.


* diterbitkan di koran tren edisi 74/2004

Sabtu, Juli 07, 2007

DUNIA DENGAN PENUH CINTA ...



DUNIA dengan penuh cinta adalah dunia dengan penuh kebahagiaan. Kehidupan hadir sebagai sesuatu yang indah dan menyenangkan. Segala sesuatu ada dan berjalan seolah tanpa beban dan cela. Detik-detik waktu yang bergulir seolah adalah untaian mutiara yang sangat berharga untuk dilepaskan. Semua orang seakan enggan untuk mengakhiri hidupnya.


Orang-orang saling mengasihi. Anak-anak sama berbakti pada orangtuanya dan para orangtua pun menyayangi anak-anaknya. Para ibu selalu mengasuh anak-anaknya dengan tulus. Selalu mendengarkan keluh kesah mereka dengan riang. Menjadi teman saat mereka kesepian. Menjadi perawat yang selalu siaga. Menjadi guru yang senantiasa mengajari tentang dasar-dasar kehidupan: cinta kasih pada semua. Hingga mereka dewasa. Hingga mereka membina rumah tangganya sendiri. Bahkan hingga mereka mempunyai anak-anak pula. Para ibu tak pernah lelah berbagi. Tak pernah berhenti mencurahkan kasih sayangnya. Juga pada sang suami, sang ayah dari anak-anaknya tercinta. Selalu menemani sang Arjuna, dalam duka maupun suka.


Para ayah pun, tak pernah menutup pintu hatinya, bagi anak-anak dan istri tercinta. Membiarkannya selalu terbuka, sebagai rumah dan tempat berlindung dari segala bahaya dan rasa tidak aman.


Dunia dengan penuh cinta. Dunia di mana setiap orang yang berpapasan di jalan, saling menyunggingkan seyuman. Tak ada tatap curiga apalagi permusuhan.


Semua berjalan begitu damai. Begitu teratur. Begitu melodis. Ritmis. Indah. Seperti aliran air sungai di pegunungan. Seperti alunan musik orkestra yang memainkan simfoni-simfoni.


Dunia dengan penuh cinta. Dunia harapan kita semua. Dunia milik kita bersama.


PETA CINTA


DUNIA dengan penuh cinta, memang adalah dunia harapan kita semua. Dunia impian kita bersama. Namun, sejatinya, kehadiran ataupun ketiadaan, dapat dirasakan ataupun tidaknya cinta, tergantung pada diri & perasaan masing-masing kita, masing-masing orang dalam menyikapinya. Ada orang-orang yang bisa menyadari serta menerima kehadiran cinta itu sebagai satu anugerah. Hingga mereka pun dengan sukarela, atas nama cinta, mau membangun kehidupan ini dengan penuh kasih sayang, ketentraman, kedamaian. Saling menghormati. Saling menghargai. Tak ada caci maki pada mulut mereka. Tak ada tatap curiga dan permusuhan pada mata mereka. Tak ada iri dengki. Dalam kemajemukannya, mereka saling menerima. Saling mengisi dan melengkapi. Hingga dunia pun tercipta sebagai satu wilayah yang, sering kita sebut sebagai wilayah surga dunia, yang senantiasa menghadirkan kisah-kisah indah.


Ada pula orang-orang yang sejatinya memiliki cinta, namun tidak seperti orang-orang yang pertama, mereka tidak menyadari akan keberadaan cinta. Hingga mereka seringkali pangling dengan cinta. Mereka adalah orang-orang yang seringkali melangkah dengan tergesa-gesa dan ragu-ragu. Berbicara dengan diulang-ulang. Seringkali duduk menyendiri di pojok kamarnya yang gelap—padahal beberapa waktu sebelumnya mereka asyik riang tertawa-tawa di luar. Mereka mudah kita kenali. Matanya cekung. Sinar matanya redup. Mereka berjingkat-jingkat—seperti takut meninggalkan jejak—saat masuk ke rumah orang lain. Pandangannya selalu mengadu. Mereka adalah orang-orang yang tidur larut malam dan akan terbangun pagi-pagi sekali. Mereka selalu mengenakan pakaian yang paling bagus yang mereka miliki. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa memerlukan teman dalam perjalanan pulangnya, sebab mereka seringkali lupa dengan rumah mereka sendiri. Mereka seringkali bingung kemana harus pulang.


Ada pula orang-orang yang tak lagi memiliki cinta. Mereka telah kehilangan cinta ataupun memutuskan untuk tidak memiliki cinta dalam hidupnya. Jika kita bertemu dengan mereka, kita pun akan mudah mengenali mereka. Mata mereka selalu menyala—namun pandangannya kosong. Mulut mereka selalu berbusa. Mereka selalu mengenakan pakaian yang sama atau jika berganti-ganti, maka dalam sehari, mereka bisa berganti berpuluh kali. Langkah kakinya berat dan berdebu. Mereka selalu melolong saat purnama tiba—persis seperti srigala. Mereka lebih suka tidur di kolong—padahal ranjang mereka empuk-empuk. Mereka adalah orang-orang yang sakit. Mereka adalah orang-orang yang sangat perlu dikasihani. Sangat perlu!


Kamis, Mei 24, 2007

KETIKA MANUSIA HARUS (SALING) MENJAGA CINTA


KETIKA seseorang memutuskan untuk melakukan sesuatu, sesungguhnya ia telah meneguhkan dirinya pada apa yang dinamakan cinta. Kegiatannya berjalan, berangkat dari rasa cinta yang bangkit dalam dirinya. Seorang ayah yang bersusah payah mencari nafkah di bawah sengatan terik mentari dan cekaman gigil dingin hujan, ia melakukan hal itu karena kecintaannya pada anak-istrinya, pada keluarganya. Juga seorang anak yang mati-matian menjalani pendidikan, semata demi masa depannya yang tidak diingininya suram. Atau seorang sahabat, kakak, adik, kerabat yang mau melakukan sesuatu demi orang lain, demi keluarga, demi karib, demi saudaranya yang padahal kadang memberatkan dirinya, karena ia tidak ingin mengecewakan mereka, karena ia mencintai mereka.

Sunnatullah
Demikianlah, cinta adalah sunnatullah, suatu keniscayaan. Cinta ada dan akan terus mengada sepanjang kehidupan itu ada. Cinta yang membuat manusia punya alasan untuk meneruskan hidupnya. Cinta yang membuat manusia mau bertahan di belantara liar dunia ini. Cinta yang membuat dunia terasa damai dan indah.
Ketika Adam baru diciptakan Allah, betapa ia merasakan hidup sebagai suatu kehampaan, meski dalam glamour kemewahan surga. Namun, saat kemudian Allah ciptakan Hawa, iapun merasakan hidup menjadi bergairah. Hidup sebagai sesuatu yang indah. Meski kemudian dalam penuh kesusahan dunia. Hawa adalah sebuah cinta bagi Adam.

Tragedi
Namun, ada kalanya juga cinta mengalami dekadensi, erosi. Bahkan seringkali tumbuh secara tidak wajar, liar. Yang kemudian menimbulkan ekses yang negatif, naïf, fatal: pertentangan, pertikaian, bahkan peperangan. Hal ini terjadi karena ketidakmampuan mengendalikan cinta: salah menafsirkan cinta, menempatkan cinta pada tempat yang tidak semestinya.
Kisah Kabil adalah kisah yang bisa dijadikan ibrah atas tragedi yang terjadi karena hal itu. Ketika demikian besarnya cinta Kabil pada Iqlima namun ia tidak bisa mengejawantahkannya dengan `benar`, hingga kemudian yang timbul adalah ketidakpuasan. Kedengkian. Dan, pembunuhan.
Demikian halnya kisah Bandung Bondowoso - Roro Jonggrang, Dayang Sumbi - Sangkuriang yang harus mengalami sad ending karena tidak bisa menyikapi cinta yang ada.
Juga ketika orang-orang melanglang dunia demi mencari kekuasaan, invasi ke negara-negara lain, atau ketika mereka menduduki jabatan, memegang kekuasaan yang kemudian sewenang-wenang, menumpuk kekayaan dengan segala cara, korupsi, sebenarnya itu pun wujud dari sebuah cinta. Kecintaan pada bangsanya, pada dirinya-untuk memperbaiki nasib. Sayang, pewujudan cintanya tidak dijalankan pada lajur yang semestinya. Karena apa yang terjadi pada pewujudan cinta tersebut, justeru dengan merusak ke-cinta-an lain, merusak nasib yang lain.

Cinta Semestinya
Demikian, sehingga cinta pun tidak bisa disewenang-wenangkan.
Benar, cinta adalah hak asasi. Namun, bahwa hak asasi itu pun ada berbarengan dengan hak asasi-hak asasi orang lain. Maka, tidak benar, demi cinta, karena cinta, kita menghalalkan segala cara.
Seyogyanyalah kita saling menjaga cinta yang ada pada diri kita. Hendaknya kita arif dalam menyikapi cinta, mengejawantahkan cinta. Hingga tragedi ala Kabil - Habil, Dayang Sumbi - Sangkuriang, Malinkundang, Romeo - Juliet, Roro Jonggrang - Bandung Bondowoso, perang dunia, kerusuhan Poso, kerusuhan Ambon, pertikaian tanah Rencong, teror Kuta, perkelahian pelajar, tawuran antarwarga, tidak lagi terulang. Kita bisa menghindarinya. Setidaknya, meminimalisasikannya.
Cinta itu anugerah. Sepatutnyalah kita menjaga anugerah itu agar tidak menjadi sesuatu yang tercela dan menimbulkan ketercelaan.