Maklumat

Tulisan-tulisan terkini dapat juga didapatkan di halaman Kompasiana di alamat https://kompasiana.com/didikaha

Khusus untuk konten-konten sastra seperti puisi, cerpen dan esai silahkan kunjungi http://blog.edelweis-art.com. Terima kasih (Penulis)

Kamis, September 14, 2017

Asmaradana: Kekalahan dan Kemenangan Hidup

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang,
kaulupakan wajahku, kulupakan wajahmu.

Entah mengapa, setiap kali saya teringat dengan sajak Goenawan Mohamad yang bertajuk Asmaradana ini, ada keyakinan yang kian mengental bahwa hidup bukanlah soal kalah atau menang. Sejak pertama kali saya membaca sajak ini, setiap kali saya menggumamkannya--yang kadang saya rasakan seperti merapal mantra--saya semakin menyadari bahwa hidup adalah kodrat yang mesti kita jalani, apapun hasilnya: kalah atau menang. Kalah atau menang bukan soal, yang menjadi soal adalah bagaimana kita menjalani dan menghadapi hidup itu.

Seperti Damarwulan yang mesti pergi ke medan laga, meninggalkan kembali Anjasmara, menunaikan titah Ratu Kencanawungu untuk melawan Minakjinggo. Dan ia tahu, itu artinya akhir hubungannya dengan Anjasmara. Karena, kalah atau menang, ia akan tetap kehilangan Anjasmara. Kalah tanding dengan Minakjinggo, berarti adalah kematian. Memenangkan pertandingan, berarti ia akan menikah dengan Ratu Kencanawungu.

Demikian Damarwulan, demikian pula kehidupan kita. Pada akhirnya kita harus mengikuti alur yang telah digariskan oleh-Nya. Tak ada kalah dan memang dalam kehidupan kita. Kalah dan menang hanya cara pandang dan keberanian kita memaknainya. Seperti Damarwulan. Seperti Anjasmara.