Maklumat

Tulisan-tulisan terkini dapat juga didapatkan di halaman Kompasiana di alamat https://kompasiana.com/didikaha

Khusus untuk konten-konten sastra seperti puisi, cerpen dan esai silahkan kunjungi http://blog.edelweis-art.com. Terima kasih (Penulis)

Tampilkan postingan dengan label OASE. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label OASE. Tampilkan semua postingan

Selasa, Desember 11, 2007

LILIN YANG TAK (BISA) BERCAHAYA


“BAIKNYA
kita akhiri saja perkawinan kita,” Suta tiba-tiba saja menghentikan makan paginya. Dibiarkannya makanan tersisa banyak di piringnya. Ia tatap wanita di hadapannya, istrinya, yang hanya dapat mengerutkan kening seraya menghentikan pula kunyahan di mulutnya.

“Ya, aku rasa, kita sebaiknya mengakhiri perkawinan kita,” Suta mengulang ucapannya, menegaskan pernyatannya.

“Tapi kenapa kita harus mengakhiri perkawinan kita? Toh selama ini kita baik-baik saja, bukan? Aku mencintaimu dan sebaliknya, kau mencintaiku juga. Iya, kan?” sang istri masih menatap Suta.

Suta menghela nafasnya. Dalam. Menahannya beberapa saat, lalu menghembuskannya kembali dengan berat. Sejenak ia alihkan pandangan ke rimbunan bunga-bunga yang nampak dari jendela samping rumah.

“Kau mencintaiku juga, kan?” sang istri mengulang ucapannya. Masih menatap Suta.

“Atau, karena aku tak bisa memberimu keturunan? Karena aku …?”

“Bukan. Bukan itu!” Suta mengalihkan kembali pandangannya, menatap kembali istrinya dengan kuat. “Aku tak pernah menganggap ketidakhadiran anak dalam perkawinan kita sebagai kekurangan darimu. Justeru aku yang merasa sangat berdosa padamu.”

“Berdosa padaku?” sang istri kian tak mengerti.

Sejenak, sekali lagi, Suta kembali menghela nafasnya. Dalam. Dan berat.

“Ya, karena terus terang, aku tak pernah bisa mencintaimu!

“Maafkan aku. Aku tak bisa lagi terus-menerus menghianatimu, menipumu.

“Tujuh tahun perkawinan kita, aku hanya merasa seperti hidup dalam panggung opera.

“Aku hidup hanya sebagai pemain sandiwara.

“Aku memang selalu berusaha mencintaimu, mencintai wanita yang dipilihkan Ibu untuk menjadi istriku.

“Aku berusaha menuruti ucapan Ibu bahwa kau adalah wanita baik, yang pasti bisa mengurus suami, mengurusku, mencintaiku.

“Dan memang aku menemukan kebenarannya.

“Kau memang wanita baik. Penuh kejujuran. Kesetiaan.

“Tapi, entahlah. Saat aku mencoba mencintaimu, selalu saja aku tak mampu.

“Aku selalu gagal.

“Aku tak bisa!”

Sang istri pun menangis. Lelaki yang telah bertahun-tahun dikenalnya sebagai sosok yang penuh kasih, pelindung, penyayang itu, hingga ia sampai lupa untuk menanyakan soal cinta padanya—hingga baru saat ini ia menanyakannya, tiba-tiba menyatakan kalau ia tak pernah mencintai dirinya.

Sang istri menangis. Namun bukan karena kehilangan cintanya. Bukan karena ternyata keliru mengartikan sikap-sikap lelakinya itu selama ini.

Ia menangis, karena kini ia baru tahu ada kepedihan yang begitu sangat, mengganjal di hati Suta. Beban, yang bertahun-tahun menghimpit perasaannya, memasungcintanya. Dan ia tak pernah dapat merasakannya. Seperti lilin, ia merasa tak pernah bisa memberikan cahaya pada cintanya itu.

“Dan wanita itu?” sang istri masih menatap Suta, menatap suaminya, dan membiarkan matanya tetap basah.

“Ibu tak pernah merestui hubungan kami.

“Bertahun-tahun aku mencoba meyakinkan Ibu bahwa ia tidaklah seperti bapaknya; lelaki yang pernah menyakiti Ibu, yang pernah menjadi kekasih Ibu namun kemudian meninggalkannya dan menikah dengan wanita lain.”

“Dan kau menyerah?”

“Aku tak pernah ingin menyakiti Ibu. Apalagi setelah meninggalnya Bapak saat aku masih balita, Ibulah yang memikul segala beban hidupku.

“Ibu begitu menyayangiku. Selalu memenuhi apa yang kuinginkan. Apapun yang kuminta selalu diturutinya.

“Kecuali wanita itu. Laras.”

“Dan sekarang, karena Ibu telah tiada …” sang istri sengaja menggantungkan ucapannya. Ia masih saja melekatkan pandangannya, menatap lelakinya itu.

Lima bulan yang lalu, Laras pergi untuk selama-lamanya, karena kanker. Dan ia tak pernah menikah.”

Sang istri mengangkat tubuhnya. Menuju jendela. Menebarkan pandangan ke rimbunan bunga-bunga di halaman.

Dan pada pagi berikutnya, mereka pun tak lagi satu meja. Dan mereka tak pernah lagi makan pagi bersama.

Sampai hari-hari terus berlalu. Tahun-tahun terus berlalu.

Mereka kini memilih jalannya sendiri-sendiri.

Suta memutuskan untuk berlayar dan mengembara. Mengarungi samudera demi samudera. Menjelajahi sudut demi sudut dunia.

Sang istri memutuskan untuk membuka panti asuhan.

Mereka memutuskan untuk tetap sendiri-sendiri, sampai akhir hidupnya.

Kamis, Juli 26, 2007

MASA LALU ...


KADANG
, saat membuka kembali lembaran-lembaran "masa lalu", atau menyusuri kembali jalan-jalan, menyinggahi kembali tempat-tempat, ataupun menikmati kembali hal-hal yang dulu pernah terakrabi, serasa ada yang menyeri di dada. Entah apa. Serasa ada yang menggumpal pula dalam lubuk mata. Semacam kerinduan dan ... rasa kehilangan.

Yah.. gedung-gedung sekolah, tanah-tanah lapang dan jalan-jalan setapak tempat dulu bermain-main dan berlari-lari saat kanak-kanak (yang sebagiannya kini telah hilang), film-film kartun, diary, foto-foto, ...

Kadang, mengingat kembali semua kenangan yang pernah dijalani, ada keinginan pula untuk mengulangnya kembali: meleburkan kembali diri pada peristiwa-peristiwa itu ... Terlebih di saat-saat kepenatan dan keletihan hidup yang kadang tiba-tiba menyergap tanpa peduli sekarang ini.

Ah, betapa nikmatnya barangkali dapat menikmati semua itu kembali. Menikmati hidup dengan kenakalan-kenakalan kecil yang polos. Dengan peristiwa-peristiwa baru yang tak pernah menawarkan kebosanan. Dengan rutinitas yang selalu terindukan dan terimpikan pada malam hari.

Yah.. tapi waktu pun memang adalah sebuah garis bujur ke depan yang, meski kadang tidak lurus namun tak pernah mempunyai lengkungan ke belakang. Emosi dan perasaan selalu tumbuh seperti cemara yang kadang gugur dan bersemi namun tak pernah bisa kembali menjelma sebagai tunas ataupun mengecil kembali.

Dan kenangan-kenangan itu, masa lalu itu, memang barangkali adalah hal yang sepatutnya cukup dimiliki, sekarang, sebagai pelepas lelah dan kepenatan hati. Kembali ke masa lalu adalah kembali menjalani hidup sekarang, hidup saat ini. Karena peristiwa-peristiwa sekarang, kelak akan menjadi masa lalu pula.

Biarlah "masa lalu" kita nikmati terus kesinambungannya dalam kebugaran semangatnya, dalam kesukacitaan emosinya. Hingga kelak, seluruh "masa lalu" kita, kan dapat terwariskan pada anak-anak dan cucu-cucu kita, sebagai dongeng dan cerita yang bisa mewariskan pula semangat yang sama pada mereka saat menyimaknya, seperti yang kita alami saat merangkainya, penuh sukacita!

Senin, Juli 16, 2007

DONGENG ISTANA KACA


EVA sungguh menyesalkan sikap dan keputusan Redo yang tiba-tiba memutuskan hubungan dengan dirinya. Padahal, sebelumnya, tidak ada satu hal pun yang melanda mereka. Hubungan mereka baik-baik saja adanya.


Ia pun mencari-cari alasan apa sebenarnya yang membuat lelaki yang selama ini nampak tegar itu tiba-tiba lemah dan menyerah. Dan ia pun lebih menyesalkan Redo, saat ia tahu ternyata keputusan itu tidak lebih hanya karena tumor yang diderita kekasihnya itu—yang bahkan tidak pernah ia ketahui karena selalu disembunyikan Redo sampai akhirnya penyakit itu kambuh lagi dan mengantar Redo ke rumah sakit sekarang.


Eva menyesalkan pemikiran Redo tentang cinta yang dianggapnya hanya gula-gula.


“Kamu keliru. Kamu pikir, aku mencintaimu hanya untuk bersenang-senang?” Eva menatap tajam kekasihnya yang terbaring lesu di kasur putih.


“Tidak! Itu salah!


“Cinta bukan hanya hanya cerita soal keindahan, kesenangan. Tapi cinta juga adalah cerita tentang keletihan hidup, keperihan hidup, beban hidup …


“Seperti saat kau beri aku dongeng tentang istana kaca yang indah, maka sekarang, saat kau hanya bisa memberiku cerita sedih hidupmu, aku pun akan setia menyimaknya. Tetap setia di sisimu, menemanimu, mencintaimu, sampai kau sembuh kembali dan, kau pun bisa mengulang kembali cerita tentang istana kaca itu.”


“Tapi aku tidak bisa lagi memberimu kebahagiaan? Toh aku kini hanya seorang yang lemah yang bahkan tidak punya keberdayaan hanya untuk menghadapi satu masalahku sendiri!”


“Kebahagiaan? Kamu pikir apa itu kebahagiaan?


“Justeru dengan aku tidak bisa menemanimu di saat-saat kamu sedang sakit dan tidak berdaya seperti sekarang ini, aku sungguh merasa amat tidak bahagia.”


Ya. Bagi Eva, kebahagiaan memang bukan hanya karena merasakan manisnya cinta, tapi kebahagiaan juga adalah saat ia bisa memberi sesuatu yang berarti pada seseorang yang ia cintai, pada kekasihnya itu. Dapat menjadi teman saat ia butuh dan sendirian. Seperti sekarang. Dan cinta baginya memang bukan hanya dongeng istana kaca. Tapi cinta juga adalah cerita tentang susahnya hidup, soal sakit dan juga ketidakbedayaan. Dan justeru dengan cinta, cerita tentang susahnya hidup, tentang sakit dan segala beban, jadi seperti cerita tentang kemewahan yang gemerlap dan tanpa beban di istana kaca.



WARNA-WARNI CINTA*


LIMA
hari sudah Rendi terbaring koma di rumah sakit. Dan, tidak ada tanda-tanda ia akan siuman ataupun pulih kembali. Tubuhnya begitu lemah. Nafasnya begitu lelah.


Ya, Rendi tidak punya kekuatan lagi. Tidak punya semangat lagi untuk meneruskan hidupnya. Ia tidak punya harapan lagi untuk hidup. Satu-satunya harapan yang ia punya, ternyata pun adalah cuma sebuah harapan semu: Arin.


Ya, sekian waktu ia cintai perempuan itu. Sekian waktu dengan penuh harapan, semangat. Arin adalah cintanya. Semangat hidupnya. Baginya, tidak ada yang lebih berarti dalam hidup selain dapat terus bersama-sama dengan Arin. Ia tidak bisa membayangkan jika perempuan itu ternyata tidak bisa membalas cintanya. Baginya, Arin adalah segala-galanya.


Dan, benar. Saat kemudian ia mengungkapkan isi hatinya pada Arin, ia pun tak dapat menerima kenyataan ketika kemudian Arin benar-benar menolaknya.


Ia pun patah arang. Kecewa. Marah. Meski tak tahu pada siapa mesti marah. Pada Arin? Ah, ia tidak punya kekuatan untuk menyakiti perempuan itu. Meski, apa yang dilakukan perempuan itu, sungguh telah menyakiti hatinya.


Hari-hari pun kemudian ia lalui dengan hampa. Tanpa asa. Kosong. Tanpa tujuan. Penolakan Arin baginya adalah akhir dari segalanya. Hingga, saat kemudian sebuah kecelakaan mengantar dirinya ke rumah sakit, ke titik koma hidupnya, ia pun tidak menyesal jika lantas mesti mati. Baginya, keberakhiran cintanya pada Arin sama saja dengan keberakhiran hidup.


Namun, lain Rendi dalam menyikapi cinta, lain pula Arin. Bagi Arin, cinta itu ibarat pakaian. Jika memang tidak pas dikenakan, kenapa pula mesti dipaksakan? Dan seperti pakaian, cinta, kalaupun cocok baginya tapi suatu kali menjadi terasa tidak nyaman, tidak pas lagi baginya, saatnya pula mesti dilepaskan.


Dan bagi Arin, Rendi adalah pakaian yang tidak sesuai baginya.


Hingga, saat kemudian ia tahu Rendi di rumah sakit dan tengah koma karena dirinya, ia pun tidak sedih. Tidak menyesal. Toh, ia setia menemani dan menunggui lelaki itu siuman. Ia berharap, saat siuman, Rendi bisa lebih memahami dan menerima kenyataan.


Namun, siapa berhak menyalahkan mereka? Siapa berhak menyalahkan Rendi jika ia tidak bisa melepaskan diri dari belenggu cinta Arin? Siapa berhak menyalahkan Arin jika ia anggap Rendi sekedar seseorang yang kebetulan lewat dan berpapasan dengan dirinya di sebuah jalan simpang kehidupan yang kemudian ia tinggalkan kembali, ia lupakan kembali, karena ia rasa arah mereka saling berseberangan dan tidak ada yang mesti terpaksa diubah.


Cinta memang sebenarnya tak mempunyai warna. Merah, kuning, hijau, atau biru, atau kelabu, atau bahkan hitam, itu hanya bias yang kita rasakan karena perbedaan cara dalam memandang dan menerjemahkannya.


Dan Rendi, Arin, juga kita semua, berhak untuk memilih warna cinta masing-masing. Yang tidak harus sama dengan yang lain.


* diterbitkan di koran tren edisi 74/2004

Sabtu, Juli 07, 2007

DUNIA DENGAN PENUH CINTA ...



DUNIA dengan penuh cinta adalah dunia dengan penuh kebahagiaan. Kehidupan hadir sebagai sesuatu yang indah dan menyenangkan. Segala sesuatu ada dan berjalan seolah tanpa beban dan cela. Detik-detik waktu yang bergulir seolah adalah untaian mutiara yang sangat berharga untuk dilepaskan. Semua orang seakan enggan untuk mengakhiri hidupnya.


Orang-orang saling mengasihi. Anak-anak sama berbakti pada orangtuanya dan para orangtua pun menyayangi anak-anaknya. Para ibu selalu mengasuh anak-anaknya dengan tulus. Selalu mendengarkan keluh kesah mereka dengan riang. Menjadi teman saat mereka kesepian. Menjadi perawat yang selalu siaga. Menjadi guru yang senantiasa mengajari tentang dasar-dasar kehidupan: cinta kasih pada semua. Hingga mereka dewasa. Hingga mereka membina rumah tangganya sendiri. Bahkan hingga mereka mempunyai anak-anak pula. Para ibu tak pernah lelah berbagi. Tak pernah berhenti mencurahkan kasih sayangnya. Juga pada sang suami, sang ayah dari anak-anaknya tercinta. Selalu menemani sang Arjuna, dalam duka maupun suka.


Para ayah pun, tak pernah menutup pintu hatinya, bagi anak-anak dan istri tercinta. Membiarkannya selalu terbuka, sebagai rumah dan tempat berlindung dari segala bahaya dan rasa tidak aman.


Dunia dengan penuh cinta. Dunia di mana setiap orang yang berpapasan di jalan, saling menyunggingkan seyuman. Tak ada tatap curiga apalagi permusuhan.


Semua berjalan begitu damai. Begitu teratur. Begitu melodis. Ritmis. Indah. Seperti aliran air sungai di pegunungan. Seperti alunan musik orkestra yang memainkan simfoni-simfoni.


Dunia dengan penuh cinta. Dunia harapan kita semua. Dunia milik kita bersama.


PETA CINTA


DUNIA dengan penuh cinta, memang adalah dunia harapan kita semua. Dunia impian kita bersama. Namun, sejatinya, kehadiran ataupun ketiadaan, dapat dirasakan ataupun tidaknya cinta, tergantung pada diri & perasaan masing-masing kita, masing-masing orang dalam menyikapinya. Ada orang-orang yang bisa menyadari serta menerima kehadiran cinta itu sebagai satu anugerah. Hingga mereka pun dengan sukarela, atas nama cinta, mau membangun kehidupan ini dengan penuh kasih sayang, ketentraman, kedamaian. Saling menghormati. Saling menghargai. Tak ada caci maki pada mulut mereka. Tak ada tatap curiga dan permusuhan pada mata mereka. Tak ada iri dengki. Dalam kemajemukannya, mereka saling menerima. Saling mengisi dan melengkapi. Hingga dunia pun tercipta sebagai satu wilayah yang, sering kita sebut sebagai wilayah surga dunia, yang senantiasa menghadirkan kisah-kisah indah.


Ada pula orang-orang yang sejatinya memiliki cinta, namun tidak seperti orang-orang yang pertama, mereka tidak menyadari akan keberadaan cinta. Hingga mereka seringkali pangling dengan cinta. Mereka adalah orang-orang yang seringkali melangkah dengan tergesa-gesa dan ragu-ragu. Berbicara dengan diulang-ulang. Seringkali duduk menyendiri di pojok kamarnya yang gelap—padahal beberapa waktu sebelumnya mereka asyik riang tertawa-tawa di luar. Mereka mudah kita kenali. Matanya cekung. Sinar matanya redup. Mereka berjingkat-jingkat—seperti takut meninggalkan jejak—saat masuk ke rumah orang lain. Pandangannya selalu mengadu. Mereka adalah orang-orang yang tidur larut malam dan akan terbangun pagi-pagi sekali. Mereka selalu mengenakan pakaian yang paling bagus yang mereka miliki. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa memerlukan teman dalam perjalanan pulangnya, sebab mereka seringkali lupa dengan rumah mereka sendiri. Mereka seringkali bingung kemana harus pulang.


Ada pula orang-orang yang tak lagi memiliki cinta. Mereka telah kehilangan cinta ataupun memutuskan untuk tidak memiliki cinta dalam hidupnya. Jika kita bertemu dengan mereka, kita pun akan mudah mengenali mereka. Mata mereka selalu menyala—namun pandangannya kosong. Mulut mereka selalu berbusa. Mereka selalu mengenakan pakaian yang sama atau jika berganti-ganti, maka dalam sehari, mereka bisa berganti berpuluh kali. Langkah kakinya berat dan berdebu. Mereka selalu melolong saat purnama tiba—persis seperti srigala. Mereka lebih suka tidur di kolong—padahal ranjang mereka empuk-empuk. Mereka adalah orang-orang yang sakit. Mereka adalah orang-orang yang sangat perlu dikasihani. Sangat perlu!