Maklumat

Tulisan-tulisan terkini dapat juga didapatkan di halaman Kompasiana di alamat https://kompasiana.com/didikaha

Khusus untuk konten-konten sastra seperti puisi, cerpen dan esai silahkan kunjungi http://blog.edelweis-art.com. Terima kasih (Penulis)

Kamis, Oktober 25, 2007

Surat untuk Penyair Muda

Rainer Maria Rilke*


Sebelum tintamu menjadi darah, kata-kata
akan tetap sebagai bunyi; kebisingan lain
di tengah hingar-bingar dunia: Deru mobil,
guntur meriam dan gunjing murah koran got.

Kau meniup seruling tapi kau sendirilah serulingnya
: itulah nasibmu, Kepenyairan adalah ziarah
tanpa peta, pelayaran tanpa bintang.
Padahal dunia menawarkan begitu banyak jalan.

Berhentilah menulis kalau kau tak rela hidupmu
jadi sajen di candi dewata yang tak dikenal.
Menulislah kalau kau yakin sajakmu menjadi sepi
: Keheningan pertapa saat roh memandang dirinya.

(Saini KM: Surat untuk Penyair Muda dalam antologi puisi Pernyataan Cinta, 1999)


KAU tanyakan apakah sajak-sajakmu bagus. Kau tanyakan padaku. Sebelumnya kau pun telah bertanya pada yang lain. Kau kirim sajak-sajakmu itu ke berbagai majalah. Kau banding-bandingkan dengan sajak-sajak yang lain. Dan kau pun jadi terganggu ketika ada redaktur yang menolak upayamu itu. Kini (karena kau izinkan aku menasehatimu), aku minta kau jangan lagi melakukan semua ikhtiar semacam itu. Kau melihat ke luar, dan dari segala-galanya itulah yang kini harus tidak boleh kau lakukan.

Tidak ada orang yang bisa menasehati dan menolongmu, tak seorang pun. Hanya satu-satunya cara yang ada: pergilah masuk ke dalam dirimu. Temukan sebab atau alasan yang mendorongmu menulis: perhatikan apakah alasan itu menumbuhkan akar yang dalam di ceruk-ceruk hatimu. Buatlah pengakuan pada dirimu sendiri, apa kau harus mati jika sekiranya kau dilarang menulis. Pertama-tama tanyakan dirimu dalam ketenangan malam: haruskah aku menulis? Menukiklah ke dalam lubuk dirimu agar kau mendapat jawaban yang dalam. Dan jika jawabannya "ya", jika pertanyaan yang khidmat tadi dijawab dengan sederhana dan mantap "aku harus", maka binalah dirimu sesuai dengan keharusan itu. Hidupmu, baik pada saat-saat yang paling remeh dan sepele sekalipun, haruslah merupakan bukti dan kesaksian dari dorongan menulis itu.

Kemudian cobalah dekati alam. Lantas usahakan seakan-akan kau adalah salah seorang dari orang-orang pertama yang mengatakan apa yang kau lihat dan apa yang kau alami, yang kau cintai dan kehilangan-kehilanganmu. Jangan tulis sajak cinta. Jauhi dahulu bentuk-bentuk yang sangat familiar dan biasa itu. Karena bentuk yang semacam itu adalah yang paling sulit.

Di dalam tradisi yang bertaburan dengan karya bagus dan sebagian cemerlang itu, diperlukan kekuatan besar dan penuh dewasa untuk bisa memberi sumbangan individual. Maka itu, dari tema-tema umum, berpalinglah pada apa yang diberikan oleh kehidupanmu sehari-hari; lukislah dukacita dan keinginan-keinginanmu. Pikiran-pikiran yang melintas dalam dirimu. Dan keyakinanmu dalam suatu keindahan tertentu. Lukiskan semuanya itu dengan sepenuh hati, sungguh-sungguh, rendah hati dan ikhlas. Gunakanlah benda-benda di sekitarmu, imaji-imaji dirimu dan kenangan-kenanganmu untuk mengekspresikan dirimu.

Jika kehidupanmu sehari-hari terasa miskin dan gersang, jangan sesalkan dirimu, katakanlah pada dirimu, kepenyairanmu tidak cukup untuk dapat menggali kekayaan dirimu. Karena bagi setiap pencipta tidak ada kegersangan dan tidak ada tempat yang penting dan gersang. Bahkan jika kau sekiranya berada dalam penjara dengan tembok-temboknya yang menjauhkanmu dari suara dunia--bukankah kau masih memiliki masa kanak-kanakmu sebagai gudang khazanah kenangan yang kaya-raya? Perhatikanlah itu. Cobalah bangkitkan kembali sensasi-sensasi yang tenggelam dari masa lampau yang jauh itu. Kepribadianmu akan lebih kuat tumbuhnya, kesunyianmu akan berkembang menjadi tempat tinggal yang temaram di mana suara-suara yang lain lewat di kejauhan. Dan jika dari menengok ke dalam ini, dari menyelam ke dalam ini, dari menyelam ke dalam dunia pribadimu ini, akan muncul sajak-sajak, tidak usah kau tanyakan pada siapapun apa sajakmu itu sajak yang baik. Juga tak perlu kau upayakan agar majalah dan koran-koran menaruh perhatian terhadap karya-karyamu itu. Karena karyamu itu adalah milikmu yang sejati dan berharga, suatu bagian dan suara dari kehidupanmu. Suatu karya seni menjadi baik jika tumbuh dari kebutuhan yang wajar. Dari cara ia berasal. Di situlah letaknya. Penilaian yang benar; tidak ada cara lain. maka itu, aku tidak bisa memberi nasehat kecuali ini: pergilah masuk ke dalam dirimu, galilah sampai ke dasar tempat kehidupanmu berasal. Pada sumbernya itu, kau akan mendapatkan jawaban apakah kau memang "harus" mencipta. Dengarkan suaranya, tanpa terlalu cerewet menyimak kata-kata. Barangkali memang sudah merupakan panggilan bahwa kau harus jadi seniman. Maka terimalah takdirmu itu, tanggungkan naik bebannya maupun kebesarannya, tanpa minta-minta penghargaan dari luar dirimu. Karena seorang pencipta haruslah menjadi sebuah dunia bagi dirinya sendiri, dan menemukan segala-galanya di dalam dirinya sendiri, serta di dalam Alam tempat dirinya berada.

Namun setelah masuk ke dalam diri dan ke dalam kesendirianmu, mungkin kau harus melepaskan keinginanmu untuk menjadi penyair (bagi saya, seseorang bisa hidup tanpa harus menulis daripada sama sekali berspekulasi untuk itu). meskipun demikian, upaya memusatkan perhatian ke dalam diri sendiri yang kuanjurkan itu, tidaklah sia-sia. Bagaimanapun juga hidupmu sejak itu akan menemukan jalannya sendiri. Dan kuharapkan hidupmu menjadi baik dan kaya serta tinggi pencapaiannya lebih dari apa yang bisa aku ucapkan.

Apalagi yang harus kukatakan? Rasanya segalanya telah mendapat tekanan yang wajar. Akhirnya aku ingin menasehati agar mau menumbuhkan dirimu secara serius. Tidak ada cara yang leih ganas menghalangi pertumbuhanmu keculai dengan melihat ke luar, dan upaya mengharapkan jawaban dari luar, terhadap pertanyaan-pertanyaanmu yang paling dalam dan saat-saatmu yang paling hening bisa menjawabnya.

* diambil dari buletin Puitika (Sanggar Sastra Tasik) edisi-3/th.I/November-Desember/1999; terjemahan Sutardji Calzoum Bachri dari Letters to a Young Poet karya Rainer Maria Rilke (Jerman)