Maklumat

Tulisan-tulisan terkini dapat juga didapatkan di halaman Kompasiana di alamat https://kompasiana.com/didikaha

Khusus untuk konten-konten sastra seperti puisi, cerpen dan esai silahkan kunjungi http://blog.edelweis-art.com. Terima kasih (Penulis)

Senin, Juli 16, 2007

WARNA-WARNI CINTA*


LIMA
hari sudah Rendi terbaring koma di rumah sakit. Dan, tidak ada tanda-tanda ia akan siuman ataupun pulih kembali. Tubuhnya begitu lemah. Nafasnya begitu lelah.


Ya, Rendi tidak punya kekuatan lagi. Tidak punya semangat lagi untuk meneruskan hidupnya. Ia tidak punya harapan lagi untuk hidup. Satu-satunya harapan yang ia punya, ternyata pun adalah cuma sebuah harapan semu: Arin.


Ya, sekian waktu ia cintai perempuan itu. Sekian waktu dengan penuh harapan, semangat. Arin adalah cintanya. Semangat hidupnya. Baginya, tidak ada yang lebih berarti dalam hidup selain dapat terus bersama-sama dengan Arin. Ia tidak bisa membayangkan jika perempuan itu ternyata tidak bisa membalas cintanya. Baginya, Arin adalah segala-galanya.


Dan, benar. Saat kemudian ia mengungkapkan isi hatinya pada Arin, ia pun tak dapat menerima kenyataan ketika kemudian Arin benar-benar menolaknya.


Ia pun patah arang. Kecewa. Marah. Meski tak tahu pada siapa mesti marah. Pada Arin? Ah, ia tidak punya kekuatan untuk menyakiti perempuan itu. Meski, apa yang dilakukan perempuan itu, sungguh telah menyakiti hatinya.


Hari-hari pun kemudian ia lalui dengan hampa. Tanpa asa. Kosong. Tanpa tujuan. Penolakan Arin baginya adalah akhir dari segalanya. Hingga, saat kemudian sebuah kecelakaan mengantar dirinya ke rumah sakit, ke titik koma hidupnya, ia pun tidak menyesal jika lantas mesti mati. Baginya, keberakhiran cintanya pada Arin sama saja dengan keberakhiran hidup.


Namun, lain Rendi dalam menyikapi cinta, lain pula Arin. Bagi Arin, cinta itu ibarat pakaian. Jika memang tidak pas dikenakan, kenapa pula mesti dipaksakan? Dan seperti pakaian, cinta, kalaupun cocok baginya tapi suatu kali menjadi terasa tidak nyaman, tidak pas lagi baginya, saatnya pula mesti dilepaskan.


Dan bagi Arin, Rendi adalah pakaian yang tidak sesuai baginya.


Hingga, saat kemudian ia tahu Rendi di rumah sakit dan tengah koma karena dirinya, ia pun tidak sedih. Tidak menyesal. Toh, ia setia menemani dan menunggui lelaki itu siuman. Ia berharap, saat siuman, Rendi bisa lebih memahami dan menerima kenyataan.


Namun, siapa berhak menyalahkan mereka? Siapa berhak menyalahkan Rendi jika ia tidak bisa melepaskan diri dari belenggu cinta Arin? Siapa berhak menyalahkan Arin jika ia anggap Rendi sekedar seseorang yang kebetulan lewat dan berpapasan dengan dirinya di sebuah jalan simpang kehidupan yang kemudian ia tinggalkan kembali, ia lupakan kembali, karena ia rasa arah mereka saling berseberangan dan tidak ada yang mesti terpaksa diubah.


Cinta memang sebenarnya tak mempunyai warna. Merah, kuning, hijau, atau biru, atau kelabu, atau bahkan hitam, itu hanya bias yang kita rasakan karena perbedaan cara dalam memandang dan menerjemahkannya.


Dan Rendi, Arin, juga kita semua, berhak untuk memilih warna cinta masing-masing. Yang tidak harus sama dengan yang lain.


* diterbitkan di koran tren edisi 74/2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar