Maklumat

Tulisan-tulisan terkini dapat juga didapatkan di halaman Kompasiana di alamat https://kompasiana.com/didikaha

Khusus untuk konten-konten sastra seperti puisi, cerpen dan esai silahkan kunjungi http://blog.edelweis-art.com. Terima kasih (Penulis)

Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan

Minggu, Maret 09, 2008

Ajal

AKU hampir mati. Benar. Saat ini aku hampir mati. Ajal itu sungguh benar telah begitu dekat adanya.

Namun, meski begitu dekat-yang tidak dapat kutampik lagi kehadirannya, serasa sulit sekali kumenjangkaunya. Setiap kali kucoba merengkuhnya-yang bahkan kini tepat di sisiku, tak pernah juga kumampu melakukannya. Hingga yang kurasakan adalah semacam siksaan yang kembali dam kian mencekamku. Nafas yang tercekat di tenggorokan. Tubuh yang begitu kaku tak dapat kugerakkan satu bagian pun. Suara pun terbungkam kebisuan. Hanya mataku yang terbelalak nanar-dan tak bisa kukatupkan barang sejenak. Aku tak bisa menyahuti suara-suara di sekelilingku yang jelas-jelas kudengar menuntunku untuk "menyebut-nyebut" nama Tuhan. Lidahku benar-benar kelu. Benar-benar kaku.

Kematian sejatinya adalah puncak dari segala hal, segala ritual dan pencapaian kehidupan. Ia takkanlah datang sebelum kita merampungkan segalanya di dunia ini. Kematian adalah batas kesempurnaan hidup.

Lalu, apakah benar hidupku belum sempurna? Apakah benar hidupku belum seharusnya selesai sat ini? Tapi, kenapa pula ia menampakkan diri sekarang? Kenapa Ajal itu hadir di sini sekarang?

Tapi, kalau kuhitung-hitung, hampir semuanya juga telah kujalani dan kurengkuhi. Aku telah melewati masa kanak-kanakku. Masa remaja. Bersekolah. Meniti karir dan mendapatkan banyak pencapaian. Pekerjaanku sebagai seorang penulis, selalu kujalani dengan sunggguh-sungguh dan sempurna. Tulisan-tulisanku, yang bertebaran di banyak koran, majalah, jurnal, situs, milis dan buku, hampir selalu diterima orang dan seringkali juga menjadi bahan rujukan dan kutipan. Aku pun telah berkelana melanglangi negeri-negeri yang jauh. Eropa. Afrika. Aku tidaklah mempunyai masalah dengan orang-orang. Bahkan aku mempunyai banyak teman. Orang-orang pun mengenalku sebagai orang baik-baik. Kalau toh sesekali ada satu-dua orang yang berseberangan denganku, tak pernah juga terjadi "kekerasan". Aku menghormati mereka dan mereka pun menghormatiku. Berkeluarga…?? Aku pun mempunyai istri dan anak yang begitu mencintaiku dan juga kucintai, meski mereka kini tak bersamaku lagi (istriku telah mendahuluiku mati, dan anakku satu-satunya telah pergi pula menjalani kehidupannya sendiri bersama suami dan anak-anaknya di negeri lain).

Atau karena aku tidak bahagia? Ah, siapa bilang? Aku selama ini menikmati apa yang kujalani. Dan aku sungguh berusaha menjalani apa yang dapat kunikmati. Apa itu tidak bahagia? Kalaupun aku tidak bahagia, toh kebahagian-dan ketidakbahagiaan atau kesedihan-adalah seperti musim di mana panas dan hujan datang silih berganti. Dan boleh saja akhir musim adalah hujan bukan, meski awalnya adalah panas? Ataukah itu harus kembali kepada panas?

Tapi, aku pun, sebagai manusia, terlahir tanpa rasa bahagia dan juga tanpa rasa sedih. Aku lahir, tiba-tiba saja aku lahir. Hingga aku tumbuh, dan tiba-tiba kebahagian dan kesedihan itu mulai menghampiriku.

Atau… karena aku masih memiliki dan memendam perasaan-perasaan itu-kebahagian dan kesedihan? Tapi bagaimana caranya?

Ah, sungguh benar Ajal itu nyata kini di dekatku. Tapi kenapa aku tak kuasa juga menjamahnya? Padahal aku pun sudah lelah dan letih-dan begitu sakit-dengan siksaan-siksaan yang kurasakan…

Aku ingin berteriak saja. Aku ingin bangkit saja dan berlari sejauh-jauhnya. Biarlah Ajal kucampakkan saja di sini. Jika benar memang sekarang bukan, ataupun belum saatnya aku mati.

Tapi… aakh!!!

Ataukah karena Tuhan?

Ya, selama ini aku memang telah mengabaikan Tuhan. Hampir dalam separuh hidupku yang terakhir kujalani hingga saat ini, aku telah meninggalkan-Nya. Tapi, tunggu dulu. Tunggu…

Aku memang telah mengabaikan Tuhan bahkan telah meninggalkan-Nya. Tapi bukan berarti aku menafikan, aku menolak eksistensi-Nya. Tidak. Aku bukanlah orang yang percaya bahwa kehidupan ini ada dengan sendirinya. Buktinya, tak pernah sekalipun kulihat batu tiba-tiba saja berubah menjadi air-kalau memang kehidupan ini ada dengan sendirinya, hal ini wajar-wajar saja, toh? Aku pun bukanlah orang yang tidak percaya bahwa Tuhan itu mahaesa. Tuhan ada. Tuhan esa. Aku percaya. Sangat percaya.

Aku meninggalkan Tuhan, karena aku memang merasa tidak mampu mencapai-Nya. Aku meninggalkan beragama, karena aku tidak pernah dapat bisa beragama, tidak pernah mampu menjalani syariat-syariat1nya yang tidak pernah dapat kupahami.

Inilah mungkin persoalanku, dan persoalan mengapa Ajal seperti enggan terhadapku.

Orangtuaku bukanlah orang-orang yang buta soal agama, bukanlah orang-orang yang tak mengenal Tuhan. Bahkan emakku sendirilah yang mengajariku mengaji kitab suci dan menuntunku tatacara bersembahyang.

Bapakku pun dikenal sebagai orang alim2. Atau kyai. Bahkan salah satu adikku ada pula yang mewarisi kealimannya. Adikku, si Yusuf. Bahkan nampak ia lebih alim daripada Abah3. Si Yusuf temanku berdiskusi soal Tuhan dan agama. Meski selalu saja kami berseberangan paham. Namun ia pun tak pernah jemu pula mengajakku berbicara soal Tuhan-sekarang pun, yang terus membisikiku untuk "menyebut-nyebut" nama Tuhan, adalah Yusuf pula.

Tapi jangan disangka pula aku tak pernah belajar agama-seperti si Yusuf. Bahkan aku telah menghatamkan berkali-kali mengaji kitab suci, di mana yang pertama adalah sebelum aku menghatamkan pendidikanku di sekolah dasar. Aku bahkan hafal tatacara sembahyang (tentu saja dengan segala ucapan dan doa-doanya) dua tahun sebelum aku menghatamkan kitab suci, kali yang pertama tersebut. Aku pun telah mengaji kitab-kitab agama lainnya, kitab-kitab tauhid4 terutama.

Entahlah, apakah mungkin karena aku diciptakan dengan otak yang terlalu sempurna, hingga aku tak pernah dapat memahami Tuhan dan agama-Nya? Karena, semakin aku berusaha memahami Tuhan, semakin aku memikirkan-Nya, semakin aku tak (bisa) memahami-Nya. Tentang wujud. Tentang kekuasaan. Tentang kehendak. Tentang neraka. Tentang "kun fayakun5". Tentang sembahyang. Tentang manusia itu sendiri. Tentang aku. Tentang semua!

Bertahun-tahun, sejak mula kali aku belajar tentang Tuhan dan agama, aku selalu saja digelisahkan oleh pertanyaan-pertanyaan itu. Dan jawaban-jawaban yang kuterima pun selalu saja tak dapat memuaskan otakku. Termasuk jawaban-jawaban dari Yusuf.

Tapi benar. Aku tak pernah menolak eksistensi-Nya. Meski kemudian aku benar-benar meninggalkan-Nya. Hingga kini, ia tiba-tiba kembali mengusikku.

Yusuf pernah berkata bahwa kematian adalah sama juga kembali kepada Tuhan. Meski ia pun tidak menggugat pendapatku tentang kematian adalah puncak kesempurnaan hidup itu. Dan soal yang Yusuf katakan ini, aku pun sedikit banyak bersepaham.

Pertama, Tuhan memang ada. Itu mutlak.

Kedua, alam, manusia, kehidupan ini, tidaklah tercipta dengan sendirinya.

Tapi, kembali untuk surga dan neraka?

Ah!!

Ajal itu sungguh dekat sekali denganku. Tapi sungguh ia pun terasa sangat jauh. Jauh. Sementara nama Tuhan pun hanya berputar-putar di bibir Yusuf, tak dapat juga berpindah dan menggerakkan lidahku.

* * *

"KAMU memang salah. Kamu memang keliru dengan meninggalkan Tuhan selama ini."

Nafasku tiba-tiba terasa terhenti. Tenggorokanku serasa benar-benar tercekat. Tiba-tiba sang Ajal berbicara kepadaku.

"Tapi…" Ah, tiba-tiba saja suaraku pun dapat keluar. Meski itu pun hanya dapat didengar olehku sendiri dan sang Ajal. Sementara Yusuf dan orang-orang lainnya yang berada di sekitarku, tak dapat mendengar suaraku-dan juga suara sang Ajal yang mana wujudnya pun hanya aku yang dapat melihatnya. Ini nampak dari raut wajah dan sikap mereka yang sama sekali tak ada perubahan.

"Ya, kau keliru. Kau munafik dengan meninggalkan-Nya selama ini," sang Ajal kembali berbicara. "Kau hanya berpura-pura mengakui eksistensi-Nya. Padahal sebenarnya pikiranmu, Ia telah tidak ada sama sekali.

"Siapapun yang mengakui keberadaan-Nya, pasti akan mengimani-Nya, akan menjalankan apa-apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nya.

"Sementara kamu..? Ah. Sembahyang pun tak pernah. Bahkan sekedar mengingat-Nya di dalam hatimu."

"Tapi aku mempercayai-Nya? Aku mempercayai pula bahwa hidup ini, alam ini, adalah ciptaan-Nya, adalah milik-Nya. Dan segalanya bakal kembali pada-Nya."

"Omong kosong!" sang Ajal menghardikku dengan tatapan yang penuh amarah. Benar-benar meremukkan persendianku.

"Kamu tak pernah mempercayai-Nya!"

"Baiklah. Kalau saja kau bisa menjelaskan segalanya padaku…" Tiba-tiba ada semacam keberanian yang menyeruak dari dalam hatiku. Tepatnya dari dalam kepalaku, dari dalam otakku. Letupan keputusasaan yang selama ini terpendam.

"Apalagi yang mesti kujelaskan? Bukankah selama ini kau telah membacanya, kau telah memahaminya dari semua yang Ia paparkan padamu?"

"Justeru karena selama ini pemahaman yang Ia berikan tak pernah bisa bersepaham dengan pemahamanku."

"Tentang apa? Neraka? Takdir? Agama?"

"Semuanya. Semuanya tak pernah dapat kupahami."

"Aku kasihan padamu, Anak Adam. Ternyata otak yang dianugerahkan-Nya padamu, tak pernah kau gunakan."

"Tapi selama ini aku mencoba memahami-Nya dengan otakku pula? Bahkan seluruh daya otakku telah aku gunakan untuk memahami-Nya?"

"Tapi kau mengendalikan otakmu hanya dengan hawa nafsumu.

"Kau tak pernah menggunakan otakmu dengan nuranimu, dengan hatimu. Kalau toh kau menggunakan hatimu, tapi hatimu telah dikuasai pula oleh hawa nafsumu." Sang Ajal menjeda ucapannya. "Tapi baiklah. Aku memang diperintahkan oleh-Nya untuk dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadaku. Aku diperintahkan untuk mengingatkan dan menuntun kembali semua makhluk untuk mentafakuri-Nya, untuk dapat memahami-Nya.

"Tapi, sebelum aku menjelaskannya, aku ingin bertanya dulu kepadamu. Apa sebenarnya yang kau maknai tentang hidup ini?"

Ada semacam pukulan yang kurasakan telak menghantam tepat di ulu hatiku. Justeru selama inilah pertanyaan ini yang selalu mengganjal di hatiku. Kini, tiba-tiba pertanyaan itu ditujukan padaku. Tapi belum lagi aku menyahutinya…

"Aku tahu kau pasti tidak dapat menjawabnya." Sang Ajal terkekeh. "Memang rumit." Ia mencibirku.

"Baiklah. Mungkin dapat kusederhanakan, apa yang telah Tuhan berikan padamu untuk menjalani kehidupan ini? Ya… kau percaya Ia itu ada, kan?" sang Ajal seperti mengejekku.

Namun, lagi-lagi, belum juga aku menyahutinya, ia telah menimpaliku, "Benar, Tuhan telah memberkatimu dengan otak, hati dan hawa nafsu. Anugerah-anugerah yang sungguh besar, yang tidaklah Ia berikan pada makhluk-makhluk lain yang lebih dulu diciptakan-Nya. Termasuk malaikat."

"Lalu, apa yang telah kau lakukan dengan anugerah-anugerah itu? Apa yang telah kau dapatkan dengan anugerah-anugerah itu? Kau percaya Tuhan itu ada, kan?" sang Ajal kembali mengejekku. Benar. Sang Ajal benar-benar mengejekku sekarang.

"Tapi kenapa harus ada neraka? Kenapa bukan surga saja yang Ia ciptakan? Atau tak perlu juga ada semua itu…?" Aku menatap sang Ajal tajam.

"Kau sungguh memang tak pernah menerima eksistensi-Nya. Dasar munafik!" kembali sang Ajal menyeringai marah. "Neraka dan surga Ia ciptakan karena Ia ciptakan otak buat kalian."

"Tapi untuk apa kami diberi otak, diberi iradat6, jika segala keputusan tetap saja Ia yang mengendalikan??? Arogan!"

"Soal segala keputusan ada pada kekuasaan-Nya, itu memang benar. Tapi, Dia arogan? Kamu keliru. Benar-benar keliru. Meski jika saja Ia arogan, itu pun adalah hak-Nya. Karena Ia memang mahamutlak.

"Gunakan otakmu, dong! Justeru dengan Ia tak menciptakan neraka, itu berarti benar bahwa Ia arogan. Toh segala keputusan yang Ia ambil pun sejatinya adalah keadilan-keadilan. Coba sebutkan satu hal saja yang Ia putuskan yang tidak merupakan keadilan?

"Kalian diberi otak sebagai anugerah kekuasaan yang tidak diberikan pada makhluk lain. Anugerah untuk berkehendak. Namun, kewajiban kalian pula untuk mempertanggungjawabkan kekuasaan itu, bahwa Tuhan telah memberikan aturan ini-itu yang akan kalian terima ataupun tinggalkan. Tuhan mahaadil, kan?

"Dan kalian diberi otak, akal, diberi kekuasaan, diberi iradat, bukan untuk lepas dari takdir-Nya. Tapi justeru untuk bisa benar-benar masuk ke dalam takdir-Nya. Ia ciptakan neraka-dan juga surga, sebagai kompensasi atas kekuasaan dan iradat kalian itu. Neraka dan surga adalah wujud kemahaadilan-Nya. Jia Ia tak menciptakan surga dan neraka, berarti Ia menolak apa yang Ia ciptakan sendiri."

"Berarti Ia tidak mahamutlak dong? Kekuasaan dan iradat-Nya tidak mutlak, karena telah diberikan pada kami pula?"

"Ha ha ha…" sang Ajal terkekeh. "Manusia, kamu jangan terlalu picik dan bodoh dengan berpikir demikian. Kekuasaan dan iradat diberikan pada kalian adalah sebatas kekuasaan dan iradat untuk mencapai takdir-Nya. Sedang kekuasaan dan iradat yang dimiliki-Nya tidaklah terbatas pada apapun. Ia telah ada sebelum semuanya ada. Ia mutlak di luar kefanaan dan keterbatasan segala sesuatu."

"Lalu, 'kun fayakun'? Apa itu bukan sebuah wujud arogansi? Dan juga sembahyang?"

"Sekali lagi manusia, kemutlakan adalah milik-Nya semata. Itulah hakekat dari kemahaesaan-Nya. Jika kau meragukan 'kun fayakun'-Nya, lalu apa pula yang selama ini kau yakini sebagai kemahaesaan-Nya? Kau katakan kau percaya Ia mahaesa, kan?"

"Mahaesa karena Ia harus mahaesa."

"Benar, tapi atas dasar apa? Kalau Ia tidak bisa ber-'kun fayakun', berarti Ia tidak mahamutlak, Ia tidak mahaesa. Ia ada yang menguasai."

"Tapi itu bertentangan dengan prinsip penciptaan akal, surga serta neraka seperti yang kau bilang dong?"

"Prinsip yang mana? Kekuasaan dan iradat kalian?"

"Kemahaadilan-Nya!"

"Kun fayakun tidaklah bertentangan dengan prinsip apapun. Justeru semua prinsip berakar padanya. Adanya kekuasaan kalian, adanya kehidupan ini, adanya surga dan neraka …

"Sembahyang sendiri adalah wujud kemutlakan kekuasaan dan iradat-Nya.

"Bagaimana kau bisa membuat orang lain memahami pikiranmu tanpa dengan kau menuliskannya?"

"Tapi itu tak harus dengan sembahyang, bukan?"

"Benar. Bagi kamu, tanpa menulis pun kamu tetap akan menjadi penulis karena kau memang bisa melakukannya. Begitu pun bagi seorang pelukis, ia tak harus melukis untuk menjadi pelukis, jika ia benar bisa melakukannya. Tapi bagi orang-orang lain? Mereka membutuhkan wujud nyata untuk mengetahui eksistensi sesuatu, untuk mengetahui kebenarannya.

"Tuhan tetaplah Tuhan tanpa kalian harus bersembahyang pada-Nya. Tapi kalian membutuhkan sembahyang untuk bisa menggapai eksistensi-Nya sebagai diri-Nya."

Sang Ajal terdiam. Agak lama. Seperti memberiku tawaran. Hingga…

"Baiklah. Sekarang, terserah kamu untuk tetap bersikukuh dengan pemahamanmu, atau kembali akan menerima kekuasan-Nya, menerima eksistensi-Nya.

"Yang jelas aku telah memperingatkanmu. Dan waktuku sudah habis.

"Aku hanya sekali saja diperintahkan untuk menjemputmu. Sekali ini, dan aku takkan kembali lagi. Tugasku tak bisa diulur-ulur. Tugasku tak bisa ditawar-tawar.

"Soal nanti kau akan protes kembali, itu nanti pada saat mahkamah-Nya digelar.

"Aku harus segera membawamu. Membawamu kembali pada-Nya. Entah kau akan menolak-Nya. Entah Ia akan menolakmu."

Dan lanskap pun gelap. Yusuf dan semua yang ada di sekelilingku tak lagi dapat kulihat. Semua suara tak dapat lagi kudengar.

Hanya kini aku dan sang Ajal, yang kemudian membawaku pergi kembali pada Tuhan. Tuhan yang memang tak pernah tiada.

______________

1 syariat = ajaran; tuntunan; peraturan
2 alim = pandai serta taat beragama
3 abah = ayah; bapak
4 tauhid = keilahian
5 kun fayakun = wewenang Tuhan untuk mengadakan-dan meniadakan-segala sesuatu dengan seketika dan tiba-tiba, dengan semau sendiri-Nya (lih. antara lain: Alqur`an 36:82)
6 iradat = kemampuan dan kekuasaan untuk berkehendak

Sabtu, September 08, 2007

MENYUSUR KABUT


SENJA belum lagi sempurna. Namun mendung yang kian menggelayuti langit puncak, membuat lanskap menjadi gelap. Mentari pun seperti telah enggan bercahaya. Mempercepat malam menghadirkan dirinya.

Di balkon sebuah kamar pada lantai dua sebuah hotel yang berhadapan dengan hamparan perbukitan yang rimbun dengan pepohonan, di atas sebuah kursi rotan yang menyandar ke dinding, Pram masih mengeja kata demi kata di layar PDA-nya, mengeja e-mail dari Elinda yang telah dikirim perempuan itu dua jam yang lalu dari Pontianak namun baru saja Pram buka sekarang. Kesibukannya sejak pagi hari tadi meliput sebuah simposium ekologi internasional tentang krisis pemanasan global yang kian menggejala dewasa ini memang telah banyak menyita waktunya hingga iapun baru sempat membaca e-mail dari Elinda itu sekarang, saat jeda acara.

Berkali-kali sudah Pram membaca e-mail itu. Hingga kata demi kata seperti telah terhafal betul di kepalanya. Namun entahlah, seperti ada sesuatu yang belum juga ia mengerti. Kehadiran Elinda dalam hidupnya, sejak awal dikenalnya dua tahun silam memang tak pernah bisa ia definisikan sebagai apa. Sebagai teman, rasanya Elinda tidak cukup ia anggap hanya sebagai teman. Hubungan yang terjalin begitu akrab dengan perempuan itu, dengan kerinduan yang kerap menggejolak di dadanya saat berada jauh darinya, meski sudah hampir tujuh bulan ini hubungan itu merenggang, terlebih lagi sebulan terakhir di mana komunikasinya seperti putus sama sekali dengan Elinda, hingga akhirnya tiba-tiba saja ia mendapati e-mail Elinda itu di inbox-nya. Sebagai pacar? Ah, rasanya Pram pun belum—atau tepatnya tidak pernah—berani untuk mendefinisikan sejauh itu. Toh di samping Elinda, dalam kehidupannya telah ada Lilis, perempuan lain yang telah dikenalnya jauh sebelum Elinda yang telah dan masih juga ia cintai dan juga begitu mencintainya. Perempuan yang kini bahkan telah resmi menjadi istrinya. Menjadi Nyonya Prambudi Setyono.

Yeah..., Pram menghela nafas dalam-dalam. Ia mencoba melerai kegalauan yang mulai menyeruak di hatinya.

Pandangannnya kini beralih ke angkasa. Sorot matanya nampak menerawang jauh. Menembus dan menyusuri kabut.

* * *

"MAS Pram, nih ada temanku yang mau kenalan!"

"Hallo?! Mas Pram??!"

"Ya?!"

"Aku Elinda. Temannya Nela..."

Itulah perkenalan Pram dengan Elinda yang terjadi saat ia tengah ngobrol di telpon dengan Nela, teman ngefans di sebuah radio di Tegal. Pram memang pernah tinggal di kawasan pesisir pantura Jawa Tengah itu, tepatnya di Brebes, kota tetangga Tegal. Lebih dari setahun Pram tinggal di sana. Saat itu ia masih magang sebagai wartawan sebuah suratkabar nasional yang berkantor pusat di Jakarta sebelum kemudian dipindahkan ke Semarang—yang merupakan juga kota asal dan kelahirannya—dan akhirnya ditarik dan ditempatkan di kantor pusat hingga sekarang. Di sela-sela kesibukannya bertugas itulah, Pram seringkali pula mendengarkan siaran tembang-tembang nostalgia—yang menjadi favoritnya—dari sebuah radio swasta yang kemudian membawanya menjadi salah satu fans bersama Nela, yang kemudian mempertemukannya dengan Elinda.

Dan begitulah, keakrabanpun dengan mudah terjalin di antara mereka, di antara Pram dan Elinda. Terlebih, saat-saat itu ada kesamaan nasib yang mereka miliki. 'Broken heart'!

Ya, saat-saat itu Pram memang sedang menghadapi 'perang dingin' dengan Lilis, perempuan yang telah dipacarinya sejak awal kelas tiga SMA enam tahun sebelumnya. Kekerasan watak dan keegoisan yang sama-sama Pram dan Lilis miliki, yang kerapkali pula menghantam hubungan mereka, telah membuahkan satu konflik hebat hingga Lilis dan Pram sepakat untuk mengakhiri hubungan. Toh, baik Pram maupun Lilis kemudian tak pernah bisa melepaskan begitu saja bayangan yang lain dari ingatan masing-masing. Cinta yang telah begitu terpatri. Meski, bagi Pram, kehadiran Elinda pun sedikit banyak telah meredam kekacauan hatinya. Ingatan terhadap Lilis, sedikit banyak terlewati oleh sejarah barunya bersama Elinda.

* * *

ELINDA saat itu baru pulang dari Batam setelah bertahun-tahun bekerja di kantor sebuah perusahaan elektronik asing. Ia memutuskan keluar dari pekerjaannya dan kembali ke Tegal, karena memang merasa sudah tidak bisa bertahan hidup di sana. Kekecewaan dan sakit hati yang ditorehkan Irza, pacarnya, yang berpaling pada perempuan lain, dan itu adalah Wina, teman sekantor mereka yang membuatnya terpaksa mengambil keputusan itu. Padahal karirnya pun telah cukup lumayan di perusahaan.

Awal Elinda berkenalan dengan Pram, sebenarnya memang hanya iseng nimbrung ngobrol dengan teman Nela itu yang kebetulan saat itu ia sedang bermain ke rumah sahabat karibnya sejak kanak-kanak itu. Toh, bagi Elinda, rasa sakit yang begitu hebat akibat ingatan atas pengalaman pahitnya dengan Irza, telah cukup rapat menutup hatinya untuk kehadiran lelaki lain sebagai pengganti Irza. Namun dari keakraban demi keakraban yang terjalin kemudian dengan Pram, seperti telah menumbuhkan sebentuk benih baru di hatinya. Entah apa. Namun sama seperti Pram, ada rasa rindu dan kehilangan pula yang ia rasakan pada Pram saat ia lama tak berjumpa ataupun bercakap-cakap dengan lelaki itu. Hingga kemudian Elinda mendapatkan pekerjaan baru di Cirebon pada sebuah biro perjalanan dan Pram pun kemudian berpindah-pindah tugas hingga akhirnya ke Jakarta, keakraban itu tetap saja berlanjut, meski kini hanya lewat telpon dan internet. Dan benih itu pun tumbuh menjadi bunga-bunga di hati Elinda yang kian lama kian bermekaran.

* * *

TOH hubungan Pram dan Lilis pun akhirnya kembali membaik. Barangkali karena kedekatan kembali yang kini ada di antara mereka. Lilis pun sekarang tinggal di Jakarta. Ia diterima kerja di sebuah bank swasta asing. Hingga akhirnya mereka sepakat untuk menikah. Sementara itu hubungan Pram dengan Elinda perlahan merenggang, yang pada satu sisi, membuat Elinda harus menanggung kembali kekecewaan. Terlebih saat kemudian Pram mengabari bahwa dirinya telah kembali dengan Lilis dan bahkan telah menikah dengannya. Elinda seperti merasakan kembali sayatan yang begitu keras dan perih di hatinya. Ia memang menyadari sejauh ini hubungannya dengan Pram memang hubungan yang tanpa "status". Tak pernah sekalipun dirinya dan Pram membicarakan tentang cinta ataupun perasaan satu sama lain. Namun memang demikianlah yang ada di hati Elinda. Sebuah rasa kehilangan yang bahkan tidak ia rasakan saat ditinggalkan Irza dulu. Dan begitu menyakitkan.

* * *


Dear Mas Pram,

Mungkin ini e-mail terakhir yang aku tulis untukmu, karena terus terang, setelah ini aku tak tahu harus menulis apa dan harus bersikap bagaimana lagi kepadamu.

Terus terang saat ini aku merasa seperti Sinta yang terkurung di rimba raya Alengka dan merasa bodoh karena harus terbelenggu kesetiaan kepada Rama.

Begitulah, aku memang tak pernah bisa melepaskan perasaanku terhadapmu.

Andai waktu bisa diputar kembali. Setidaknya aku bisa mengutarakan perasanku padamu, sebelum jarak kembali merengkuh kebersamaan kita sekarang ini.

Toh aku pun memang tak berhak menyalahkanmu ataupun Lilis. Lilis memang telah hadir lebih awal daripadaku.

Mas Pram,

Namun boleh, kan aku bertanya padamu? Betulkah selama ini kau tidak mencintaiku pula?

Jujur sajalah, Mas. Toh itu tak akan merubah keadaan. Kau akan tetap bersama Lilis, dan aku tak mungkin merebutmu dari Lilis.

Mas Pram,

Asal kau tahu, kehadiranmu sungguh telah menyembuhkan sayapku yang patah. Meski mungkin tak pernah kausadari. Dan kepergianmu kini, sungguh telah mematahkannya kembali.

Elinda

Ps.

Sekarang aku dipindahtugaskan ke Pontianak. Biarlah. Barangkali sayapku akan dapat pulih kembali di sini. Hingga ia dapat mengembang dan membawaku kembali terbang menyusuri hidup yang penuh kabut.

Semoga perpisahan kita, tidak merapatkan kembali hatiku untuk lelaki.

* * *

TATAPAN Pram masih mengangkasa. Ada kabut pula yang mulai menebal di matanya. Menyusup masuk ke hatinya.

Ya, andai waktu bisa diputar kembali, gumam Pram lirih dalam hati.

Pram kembali menghela nafasnya dalam-dalam. Menghalau kegetiran yang semakin menjalari hatinya.

Akhirnya, iapun beranjak masuk ke dalam. Membiarkan pintu kamarnya tetap terbuka. Membiarkan kabut terus dan kian masuk menyelimuti hatinya.

Buitenzorg, Desember 2005
buat Irma:
thanks for the all!

Kamis, Mei 31, 2007

P E R G I

Cerpen ini telah dipindahkan ke blog kompasiana.com/didikaha

PUISI CINTA

kau permata
kau batu
kau tugu
yang selalu menjulang tegar
yang selalu bersinar cerlang
di hamparan musim-musim
aku hanya penziarah
yang mabuk kepayang
oleh kilauanmu
haruskah kau terus diam
membisu
membekukanku dalam tabung
waktu

pro Anggit


ANGGIT terbelalak. Matanya menyorot merah, marah, menatap baris-baris kata di lembaran mading sekolahnya yang terpajang di boks kaca di dinding samping perpustakaan.

Dua kali sudah--dalam seminggu ini, puisi gila nongol di mading yang ditujukan untuknya.

Iapun bergegas, kembali ke kelasnya. Dan ...

Brakk!!

Dibantingnya pintu keras-keras, mengejutkan teman-teman gengnya: Wiwit, Esy, Maf dan Sophie yang lagi ngumpul di kelas, juga beberapa siswa lainnya, termasuk seorang cowok kerempeng yang lagi asyik menyelami Mimpi-mimpi Einstein di bangkunya di pojok ruangan. Sontak, cowok itu melongokkan kepalanya yang tersembunyi di balik bukunya Alan Lightman itu. Namun iapun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sembari tersenyum-senyum saat tahu itu adalah ulah si Xena, Anggit. Iapun kembali membenamkan kepalanya, kembali menghanyutkan konsentrasinya ke dalam arus narasi novel sci-fi itu.

"Gila. Dasar gila!" Anggit menyeringai sembari terus melangkah ke tempat duduknya di depan meja guru.

Wiwit dan Sophie menghampiri. Begitu pun Maf dan Esy.

"Ada apa, Git? Datang-datang ngeraung kayak singa kelaparan aja lo.

"Tenang dikit kenapa sih?" Wiwit langsung nerocosin Anggit sembari tanpa permisi nongkrongin diri di samping Anggit.

"Bodo. Dia emang gila. Gila!

"Dia pikir gue siapa sih? Seenaknya aja nulis-nulis puisi buat gue di mading. Tanpa nyebutin diri lagi."

"O.. itu to." Esy mengangguk-anggukkan kepalanya.

"O.. itu to," Anggit mencibir.

"Pokoknya gue `gak terima," Anggit kembali ngotot, "Awas, kalo tahu orangnya, bakal gue cincang abis dia!"

"Ih.. atut! Sadis amat, Nek. Nggak usah dicincang, Git. Potong dua aja. Kepala ama tubuh. Kalo pas cakep, kan kepalanya bisa buat gue, biar dipajang di kamar." Wiwit kembali nerocos.

Anggit melotot.

Wiwit-pun cengengesan. begitu pun Sophie, Esy dan Maf. Juga cowok kerempeng di pojokan yang diam-diam nguping, membuat Anggit semakin mendelik.

* * *

"SELAMAT, Git! Elo dapat lagi."

"Apaan?"

"Tuh!" Esy menunjuk ke mading. Dan benar.

...

meski hancur terberai
tubuhku
namun rinduku
cintaku
`kan selalu untukmu
oh, bidadariku
kau memang bintang terang
yang selalu menyinari
setiap malamku

pro Anggit

Muka Anggit nampak memerah. Cairan di kepalanya kembali mendidih.

"Eh, tapi gue tahu kok, Git, siapa penyair sableng itu. Kemarin, kan gue pinjam buku catatan ama Anto. Eh, pas gue bolak-balikin isinya, gue dapatin coretan-coretan, puisi-puisi ini." Esy kembali menunjuk mading.

Anggit-pun membelalakkan matanya. Menatap tajam kepada Esy. Begitu pun Wiwit, Maf dan Sophie yang ikut-ikutan surprised.

"Elo jangan bohong, ya?" Anggit menudingkan telunjuknya ke muka Esy.

"Swear deh. Abis kalo bukan dia, siapa lagi?" Esy mengangkat bahunya.

"Oke deh. Gue percaya aja ama elo." Anggit tersenyum. "Ya, sekarang gue mesti bikin pembalasan." Anggit lantas ngacir, bergegas mencari cowok yang dimaksud. Keruan Esy, Wiwit, Sophie dan Maf jadi saling pandang.

"Bakal ada perang Baratayuda nih!" celetuk Maf sembari menggerakkan kakinya, menguntit Anggit, diikuti yang lain.

* * *

DENGAN isi kepala yang hampir meledak, Anggit pergi ke kelasnya. Mencari manusia Adam yang telah berani-beraninya mempermain-mainkan dirinya di mading sekolah. Ia pengen minta pertanggungjawaban cowok itu!

Sementara Wiwit, Esy, Sophie dan Maf terus mengikuti dari belakang.

Di dalam kelas, Anggit mendapati sosok yang dicarinya, Anto, cowok kerempeng kepala suku II.1, lagi mojok di singgasananya. Sendirian dalam kelas, cowok itu asyik corat-coret di atas paper book-nya. Anggit-pun menghampiri dan, dengan suara altonya yang berguntur-guntur, Anggit menggertak cowok itu sembari kedua tangannya keras menggebrak meja.

"Bangun!"

Anto nampak terkejut. Namun, dengan cepat, ia bisa mnguasai diri. Dan, dengan tanpa menyadari dosanya sedikitpun, ia justeru nyengir pada Anggit. Lalu kembali memain-mainkan pulpennya.

Anggit semakin sewot. "Elo budek atau tuli sih? Bangun!" Anggit beringsut ke samping meja, merebut pulpen dan mencekal pundak Anto, menariknya ke atas. Mau tak mau Anto pun menurutinya. Ia nggak mau atasan bajunya sobek hanya lantaran egois pada cewek itu. No, terlalu mahal!

"Tenang dulu dong, Neng. Yang adem ngomongnya. Emang ada apa sih? Sekolah kita diserbu teroris?" sergah Anto sembari menepiskan tangan Anggit dari pundaknya.

"Teroris, teroris. Elo yang teroris."

"Lho, kok malah aku yang teroris?"

"Ah.., udah deh ngaku. Elo, kan yang corat-coret puisi-puisi itu?"

"Puisi-puisi ...?"

"Udah deh, `gak usah ngebego. Elo, kan penyair sinting itu?"

Anggit benar-benar murka pada Anto. Ia pengen segera ngasih pelajaran pada cowok yang kurang ajar itu. Ia mau cowok itu ngaku dan lantas ampun-ampunan minta maaf pada dirinya.

Namun Anto nggak langsung menjawab. Ia justeru membetulkan krah bajunya yang sempat acak-acakan oleh cengkraman Anggit. Membuat Anggit makin melototkan matanya.

Sementara teman-teman geng Anggit, nampak menahan-nahan nafas, mengikuti adegan demi adegan itu dari balik jendela kaca kelas. Mereka tahu betul gimana Anggit kalo udah murka. Jangankan Anto yang kerempeng. Pak Septo, guru Matematika yang kekar lagi killer pun, pernah keok diceramahin Anggit gara-gara keliru ngasih nilai PR-nya.

Cukup lama Anto diam. Membuat dag-dig-dug di dada Sophie cs kian kencang.

Namun, Anto pun kemudian menganggukkan kepalanya. Toh, bukannya minta maaf. Ia justeru balik tanya pada Anggit.

"So?" Kini balik Anto yang menatap Anggit. Ia pengen lihat seberapa murka cewek itu bakal maki-maki dirinya.

"Jadi..?" Gigi Anggit nampak gemeretak. Namun, tiba-tiba cewek itupun menubruk Anto, mendekapnya. Membuat Anto terlongo-longo. Begitu pun Sophie dan kawan-kawan.

"Ngomong dong yang jelas. He.. he.. he.. gue juga, sayang ama elo kok," ucap Anggit sembari terus mendekap Anto. Sontak, Anto melototkan matanya. Kian terlongo-longo. Sementara Anggit cuman cengar-cengir, terus mendekapnya. Namun, Anto pun kemudian balik mendekap Anggit.

Berputar-putar. Mengayun-ayunkan bidadari pujaannya itu., dan ... melepaskannya.

Ah, dasar cinta!

Rabu, Juli 13, 2005

SUARA-SUARA


MUNGKIN aku gila. Mungkin bagi banyak orang—termasuk kau—aku adalah orang gila. Mungkin orang-orang semua—termasuk kau—menganggapku sudah tidak waras lagi—hingga kalianpun sepakat memasukkanku ke kamar teralis yang pengap ini!
Tapi sungguh aku sendiri benar-benar merasa diriku sehat. Aku merasa pikiranku benar-benar waras.

Dan suara-suara itu, ah, sungguh benar itu adalah kebenaran belaka. Suara-suara yang menuntunku. Seperti cahaya yang menerangi jalanku saat melintasi lorong gelap panjang.

Tapi biarkan aku menceritakan—menceritakan kebenaran itu. Hingga kaupun dapat mengerti siapa sebenarnya yang benar dan siapa sebenarnya yang salah.

Simak baik-baik dan kaupun akan menemukan kebenarannya.

Mulanya memang aku pun—sempat—tidak mempercayainya. Aku pikir itu hanya seperti suara kodok-kodok di musim hujan yang padahal air itu masih jauh menggantung di langit, tapi, mereka berisik sekali mengabarkan kedatangannya. Atau seperti burung gagak yang berputar-putar di atas atap rumahku yang bercerita tentang kematian padahal sampai tujuh hari kemudian, atau bahkan sampai tujuh bulan kemudian di rumahku semua orang tetap sehat-sehat saja adanya.

Ya, aku memang sempat meragukan dan tidak mempercayai—dan bahkan menolak sama sekali, sebagaimana kau saat ini, dan semua orang saat ini, kebenaran ucapannya.

Saat itu hari siang bolong saat aku pertama kali mendengar suara itu.

Aku sedang, seperti biasanya—dalam beberapa hari ini, duduk melamun (tapi aku lebih merasa sedang merenung; merenungi kehidupan ini yang Tuhan ciptakan untuk kita, manusia)—dan karenanya pula aku memilih pulang sekarang setelah sekian lama menjadi robot kapitalis di kota. Aku sedang merenung di kamarku di sebuah rumah kayu di sebuah desa di kaki gunung yang dingin—di sini memang rumah-rumah kebanyakan terbuat dari kayu, dengan kolong di bagian bawahnya, agar binatang-binatang buas pada malam hari tidak dapat memasuki rumah-rumah kami. Dan tak ada kebisingan di sini apalagi polusi duniawi yang selama ini begitu memuakkanku di ruang kota yang kotor dan sumpek. Di sini semua masih asri. Di sini semua masih asli. Di sini semuanya masih alami. Termasuk watak manusianya yang masih santun dan lugu setia berpegang pada adat tradisi dan agama—yang oleh manusia kota disebut kuno dan ketinggalan jaman.

Suara itu begitu nyaring mengiang di telingaku. Seperti dentum mesiu yang getarannya begitu memekakkan gendang telinga dan hampir-hampir membuatnya pecah. Atau ledakan gosip yang setiap hari terjadi di ruang publik kota yang telah meluluhlantakkan satu persatu infrastruktur jiwa—rasa kejujuran, ketulusan dan kepercayaan.

Suara itu, dengan keras dan jelas, mengatakan:

“Kaulah yang terpilih. Dunia ini telah rusak. Dan kaulah yang terpilih untuk menatanya kembali.”

Aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.

Dalam hati aku memang sempat membenarkan—sebagian, tapi tidak seluruhnya—ucapan itu.

Dunia memang telah rusak sekarang. Bahkan telah parah. Tangan-tangan manusia telah merusak banyak kreasi agung yang Tuhan ciptakan. Tangan-tangan manusia telah membabat liar pohon-pohon yang teduh untuk ditanami beton-beton dan kaca-kaca yang menyilaukan dan membuat gerah udara. Laut yang biru telah dicemari hingga kecoklatan yang memuakkan. Langit yang cerah telah dibuat gelap oleh asap-asap kotor yang keluar berjejal dari cerobong-cerobong industri kapitalisme. Manusia pun semakin suka bertikai dan saling bantai di antara sesamanya—selalu saja menimbulkan perselisihan, pertumpahan darah yang mengotori dan membuat bumi menjadi anyir.

Tapi, aku yang terpilih?

Kembali aku menggelengkan kepala—mencoba sekedar mengukur kadar egoisme diri.

Dan saat-saat berikutnya, hari-hari berikutnya akupun kembali larut berdiam diri di kamarku. Melupakan suara itu. Hingga suatu malam, dalam kedinginan yang begitu gigil mencekam badan dan jiwaku, suara itu kembali datang. Saat itu hampir saja aku bisa tertidur—atau aku sudah tertidur?—setelah berjam-jam lamanya, dengan begitu susah dan beratnya, berusaha menyeret anganku pergi ke dunia batin.

Seperti petir yang sedari tadi berguntur-guntur di luar—namun hujan tidak juga datang—suara itu, kembali, menyentak kesadaranku. “Kaulah yang terpilih!” ucapnya, “Kaulah yang terpilih untuk menata kembali dunia ini.

“Bangunlah. Pergilah keluar rumah. Bereskan semuanya. Tata kembali semua yang telah rusak.”

Dan, seperti sebelumnya, tanpa pamit dan dengan tiba-tiba, suara itu kembali pergi.

Kali ini, meski masih juga belum percaya penuh, namun tidak sepenuhnya pula aku tidak peduli. Nyatanya, suara itu seperti pohon yang tiba-tiba tumbang di tengah jalan, memotong jalanku, saat aku baru saja hendak beranjak ke dunia batin. Dunia Keabadian. Dan aku tak mampu mengangkat atau menyingkirkannya. Hingga aku hanya bisa terhenti di sini, terkatung-katung di daerah batas kesadaran—daerah kantuk, sampai fajar menyingsing di ufuk Timur dan bahkan mentari telah jauh naik hingga hampir ke atas ubun-ubunku. Baru ketika mentari telah benar-benar naik ke atas ubun-ubunku aku baru bisa memejamkan mata kembali—meneruskan kembali perjalanan ke Dunia Keabadian. Namun suara itu seperti belum saja puas. Ia, bahkan, menguntitiku ke dunia ini. Dan di sini, suara itu kian jelas adanya. Bahkan ia menjelma pada sesosok entah siapa entah apa—yang begitu bercahaya dan menyilaukan. Hingga setiap kali mataku berusaha menatap dan mencari kejelasannya, selalu saja kembali tertunduk.

“Kaulah yang terpilih,” suara itu kembali mengulang kata-kata yang sama itu, yang telah kuhafal betul. “Kaulah yang terpilih. Lihatlah dunia semakin hancur. Bumi telah begitu sakit oleh ulah tangan manusia—makhluk sejenismu; anak keturunan Adam yang seharusnya berkewajiban menjaga dan melestarikannya! Langit pun merasakan kesakitan yang sama.

“Kaulah yan terpilih. Karena peringatan-peringatan yang diberikan, tak pernah dihiraukan. Berapa kali, sekedar sebagai peringatan, bumi telah dibelah? Berapa kali lahar telah dimuntahkan dari pucuk gunung? Berapa kali air—dengan deras dan banyaknya—disiramkan dari langit berlama-lama? Berapa kali laut ditumpahkan ke daratan? Berapa kali angin telah ditiupkan kencang?

“Tapi selalu saja manusia tak peduli. Tobatnya hanyalah kebohongan. Karena segera setelah itu berlalu, manusia pun kembali mengumbar nafsunya—merusak kembali benda-benda alam, menyakiti kembali alam, membuat kembali keonaran-keonaran, kekejian-kekejian.

“Kaulah yang terpilih. Kaulah yang terpilih untuk melakukan tugas ini—menyadarkan manusia, menyadarkan bangsamu!!”

“Tapi…..” Tapi sebelum aku sempat sekedar bertanya kenapa aku yang harus terpilih dan kenapa aku harus menerimanya—melakukannya, ia kembali pergi. Dan akupun terjaga. Bahkan sampai malam harinya. Bahkan sampai esok harinya.

Esok harinya, setelah semalaman berpikir dengan sangat keras tentang suara itu—tentang kebenarannya, dengan seperti sebentuk kesadaran yang tiba-tiba saja muncul dalam diriku, dan begitu menyentak seperti banjir-banjir itu, seperti lahar-lahar itu, seperti angin topan itu, akhirnya aku memutuskannya.

Akulah yang terpilih. Ya, ya, akulah yang terpilih. Akulah memang yang pantas menjalankannya. Dan aku memang harus menjalankannya.

Maka, dengan berbekal keyakinan akan kebenaran suara itu, aku keluar rumah. Pergi—kembali—ke kota. Pergi—kembali—ke orang-orang ramai. Tapi bukan untuk kembali menjadi robot. Aku pergi ke kota untuk mengembalikan robot-robot yang ada ke bentuk asalnya. Aku pergi ke kota untuk menyadarkan manusia-manusia robot itu.

Aku pergi mengemban tugas ini. Aku mengabarkan dan menyadarkan orang-orang akan kebenaran suara itu.

Tapi setiap orang yang kutemui, hampir semua tidak mempercayaiku. Semua manusia yang kutemui, hampir semua tak mempedulikanku. Bahkan membantahku dan menganggapku gila.

“Ah, banjir cuma gejala alam,” kata salah seorang yang kutemui. “Ah, angin topan hanya karena adanya rotasi bumi yang tidak normal,” kata yang lain.

“Lalu apa hubungannya dengan kita?

“Kalau kita kadang berselisih, kita kadang bertikai, bukankah itu hanya karena naluri manusiawi kita—untuk bertahan? Dan naluri itu pun adalah anugerah Tuhan, bukan?

“Toh bukankah hidup ini sendiri adalah perjuangan? Siapa yang kuat dia yang dapat. Tidak ada yang gratis dalam hidup ini. Benar, kan, Bung? Dan jika perlu kita harus saling membunuh—untuk mendapatkan apa yang kita cari, kita butuhkan, kenapa tidak?”

“Dan kau yang terpilih… Terpilih untuk apa? Terpilih oleh siapa?

“Kau hanya mimpi, Bung. Mimpi!”

“Sudahlah, kembalilah ke asalmu. Tidur saja dengan selimut kabutmu di sana.

“Kau tak bakal mengerti dengan pola dan aturan kehidupan manusia sekarang.”

Orang-orang terus megolok-olokku. Bahkan mulai mengataiku gila.

Ada sebenarnya satu, dua orang yang mau juga peduli, mau juga menghiraukan omongan-ku. Bahka mereka mau mengikutiku—mengikuti ucapan-ucapanku, mengikuti kemanapun aku pergi—tapi ada juga yang hanya peduli tapi tidak mau mengikutiku—seperti kau mungkin.

Hingga, tanpa terasa, telah berhari-hari, telah berbulan-bulan, telah bertahun-tahun aku melaksanakan misiku ini. Tapi tetap saja orang-orang tak peduli. Bahkan seiring waktu kian bertambah, kian bertambah pula jumlah orang yang mengingkariku. Bahkan mereka yang dulu percaya padaku, satu persatu mulai meninggalkanku.

Hingga, setelah cukup berpikir, akupun merasa harus menggunakan cara lain. Kata-kata mungkin tak lagi berarti. Kata-kata mungkin bukan sesuatu yang nyata. Mereka mungkin butuh sesuatu yang nyata.

Akhirnya, dengan pengikut-pengikutku yang tersisa, aku mulai menggunakan cara lain guna menyadarkan manusia. Aku membuat bencana-bencana kecil. Aku buat kehancuran-kehancuran kecil—ya, kecil jika dibandingkan dengan bencana-bencana itu; lahar yang meleleh, banjir yang dahsyat, topan yang ganas. Aku sekedar meledakkan satu - dua bangunan manusia. Aku sekedar merusak satu - dua kreasi manusia. Aku sekedar membuat ketakutan dan kecemasan kecil—ya, ketakutan dan kecemasan kecil jika dibandingkan dengan ketakutan dan kecemasan terhadap bencana-bencana itu.

Tapi, ah, manusia tetap saja tak peduli. Orang-orang tetap saja tak menghiraukanku. Bahkan menuduhku telah membuat onar, membuat anarki. Telah menyebarkan teror. Menuduhku keji. Menudingku gila. Dan lalu menyeretku ke sini. Ke balik ruang teralis baja ini. Untuk kemudian esok dieksekusi. Mati!

Bahkan orang-orang yang dulu mau mengindahkanku—termasuk kau?—sepakat pula dengan mereka.

“Kebenaran itu memang nyata, Bung.

“Tapi kau tak perlu melakukannya. Kau tak perlu sampai menghakimi. Kau tak berhak memutuskan hukuman-hukuman itu.

“Dan, kau bahkan korbankan orang-orang yang juga percaya padamu. Kau lihat, berapa manusia yang percaya padamu ikut menjadi korban karena ulahmu menghancurkan segalanya?”

Segalanya? Ah, terlalu berlebihan. Toh aku hanya melakukan hal-hal kecil. Dan, kalau aku—yang disebut mereka dan barangkali juga kau sebagai teroris—tidak harus melakukannya, lalu aku harus bagaimana lagi? Haruskah aku membiarkan manusia terus tersesat dengan hawa nafsunya dan menunggu hingga bencana-bencana besar itu datang lagi—dengan korban yang tentunya lebih banyak lagi?

Kenapa mereka tidak mempercayaiku? Kenapa kau tak mempercayaiku? Betulkah aku gila?

Dan, suara itu, suara-suara itu. Ah, kemana pula suara-suara itu? Kemana kebenaran-kebenaran itu? Kenapa suara-suara itu tak lagi terdengar kini?