Maklumat

Tulisan-tulisan terkini dapat juga didapatkan di halaman Kompasiana di alamat https://kompasiana.com/didikaha

Khusus untuk konten-konten sastra seperti puisi, cerpen dan esai silahkan kunjungi http://blog.edelweis-art.com. Terima kasih (Penulis)

Tampilkan postingan dengan label PSIKOLOGI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PSIKOLOGI. Tampilkan semua postingan

Jumat, September 11, 2009

Hanya Soal Kata ..

YA, hanya soal kata. Tapi, persoalan ini bisa merubah persepsi dan keadaan berbalik 180 derajat dari yang diharapkan.

Semisal Anda sebagai orangtua yang senantiasa menginginkan anak-anak Anda tumbuh dan berkembang sebagai anak-anak yang baik. Namun, setiap kali Anda mendapati kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan yang mereka lakukan (sekecil apapun!), seolah itu adalah ketololan-ketololan yang selalu mereka perbuat, yang memang menjadi tabiat mereka. Di mana, dalam ceramah-ceramah Anda terhadap mereka--atas kekeliruan-kekeliruan yang mereka lakukan itu--sama sekali Anda tidak pernah memberi applaus atas perbuatan-perbuatan baik yang telah mereka lakukan, namun sebaliknya senantiasa mengungkapkan kekeliruan-kekeliruan sebelumnya yang mereka lakukan.

"Kakak tuh 'gak ada benernya deh. Udah tau embernya bocor, masih aja dipake. Kan ember yang lain ada ..." atau "Merah lagi, merah lagi raportnya. Dibilangin belajar, belajar .. eh, malah main game terus ..."

Dua contoh "ceramah" di atas sungguh dapat menimbulkan dampak negatif yang besar bagi pertumbuhan mental si anak. Seolah si anak yang diceramahi, memang tak pernah berbuat benar. Memang tak pernah melakukan prestasi apapun. Pada masa mendatang, jika pola-pola seperti ini yang terus dilakukan si orangtua, si anak dapat "mencap" dirinya sendiri sebagai seorang yang tidak berguna. Ketika orangtua tak pernah berempati terhadapnya, yang ada kemudian adalah dendam. Dia bisa tumbuh menjadi seorang penjahat kelas kakap layaknya Joker dalam film Batman. Atau, jika tidak, dia akan kehilangan kepercayaan dirinya, hingga dia akan selalu gagap dan gamang melakukan sesuatu, yang bahkan remeh dan sebenarnya bisa dia lakukan dengan mudah.

Kasus lain, jika Anda adalah seorang supervisor yang setiap pagi mereview dan membuat planning kegiatan tim Anda, ketika Anda senantiasa mencaci setiap pekerjaan mereka, ketika Anda hanya bisa melihat sisi buruk pekerjaan mereka, maka jangan Anda harapkan pekerjaan mereka akan dapat menjadi lebih baik. Percayalah. Apalah susahnya berkata, "Bagus, pekerjaan kalian kemarin sudah rapi. Hanya ada beberapa bagian yang mesti diselesaikan dengan lebih baik ..." daripada "Gimana sih kalian, kerja 'gak pernah becus. Timbang masang gitu aja 'gak bisa ..."

Sebagai orangtua, sebagai supervisor, sebagai leader, guru, pejabat, pimpinan, .. kata-kata dan cara sikap kita sungguh akan sangat berpengaruh. Bahkan terkadang, inilah yang menjadi kunci sukses tidaknya sesuatu. Maka, marilah kita membiasakan diri dengan kata-kata dan sikap-sikap positif.

Memang, sebagai manusia, seperti mereka pernah melakukan kesalahan, bisa dimaklumi jika sekali dua kali kita keceplosan memarahi ataupun mencaci mereka. Tapi, sekali lagi, jangan sampai itu menjadi kebiasaan. Karena hal positif (seperti sukses) lahir dan tumbuh dari hal yang positif pula, dari kebiasaan-kebiasaan yang positif.

Kamis, Juli 31, 2008

Badhekan

Humor merupakan salah satu faktor indikasi kesehatan mental seseorang. Ketika seseorang sudah tidak peka lagi terhadap humor atau bahkan ia telah kehilangan sense of humor dalam hidupnya: kerap menanggapi segala sesuatunya secara "serius" dan "tegang", mudah tersinggung, cenderung mengangap masukan (baca: kritik) orang lain sebagai cemoohan dan hujatan, atau lebih parah lagi, jika dalam kamus hukum kita ada istilah "praduga tak bersalah", maka asas yang dianutnya adalah asas "praduga bersalah" yang ia terapkan baik kepada orang lain ataupun kepada dirinya sendiri hingga ia cenderung menyalahkan dan mengutuki diri sendiri saat ia mengalami suatu kegalan dan terlarut terus dalam penyesalan dan ratapan yang tiada henti.

Begitu pentingnya humor dalam kehidupan seseorang, hingga dalam terapi psikologi, humor ditempatkan pada level yang cukup tinggi (baca, antara lain: Terapi Humor dalam Psikologi Islam oleh Rena Latifa).

Salah satu bentuk humor yang cukup "paten" dijadikan sebagai indikator tersebut adalah badhekan atau tebak-tebakan. Bahkan lebih dari sekedar humor, badhekan berkaitan pula dengan kecerdasan logika seseorang dalam menangkap, memahami dan mengurai suatu persoalan. Badhekan, meski tidak mutlak, juga bisa dijadikan alat ukur sejauh mana kadar ataupun tingkat relationship yang dimiliki seseorang dengan orang-orang lain terutama teman dan keluarga, sebab badhekan merupakan suatu hal (baca: tradisi) yang berkembang secara sosial, dapat diketahui seseorang hanya dengan melalui pergaulan dan interaksi dengan orang-orang lain—meski tidak menutup kemungkinan, dengan kecerdasan logika dan humor yang tinggi dalam diri seseorang, ia dapat langsung menebak secara cerdas badhekan yang diajukan kepadanya, toh tetap saja itu berhubungan dengan yang namanya "humor".

Sabtu, Januari 12, 2008

Saat Cuaca Rumah tidaklah Cerah

Harapan setiap orang, siapapun, termasuk saya dan Anda, pastilah ingin 'langit' yang menaungi kita selalu cerah. Apalagi di saat hati dan pikiran kita sedang letih dan lelah. Ah, begitu teduhnya kita berada di bawah naungnya. Apalagi di sekitar kita, 'pepohonan' rindang menyejukkan.

Namun, kodratinya, langit pun takkan selamanya cerah. Ada pula saat ia menggumpalkan mendung. saat ia mengguyurkan hujan yang mengepung dan mengguyur kita dari segala arah. Ada saatnya pula ia begitu panas, menebarkan dan menghujamkan terik ke tubuh kita.

Demikian, cuaca di dalam rumah kita pun. Saat kita telah dijenuhkan dengan segala rutinitas dan kesibukan kerja dan berbagai urusan di luar, pulang ke rumah, kita tentu dengan membawa harapan adanya kecerahan dan kesejukan di sana. Bertemu dan berkumpul kembali dengan keluarga. Bercanda ria dengan istri dan anak-anak tercinta. Toh, kadang cuaca rumah yang kita dapati adalah sebaliknya. Istri yang muram tak ceria. Anak-anak yang gaduh, berlarian kesana-kemari, bermain-main seenaknya sendiri. Sementara keadaan rumah, tak ubahnya seperti kapal pecah.

Di lain sisi, sang istri pun merasakan cuaca yang sama. Setelah seharian disibukkan dengan berbagai pekerjaan dan urusan rumah: memasak, mengurus si kecil dan si kakak yang mulai nakal, membereskan ini-itu--yang seringkali tak pernah sempat terselesaikan ataupun diacak-acak kembali oleh anak-anak. Ia mengharapkan kehadiran suami sebagai tempat pelipur lara. Tempat bercerita dan menyandarkan segala keluh. Namun, yang didapatinya adalah cemberut dan muka kusut sang Arjuna yang ditekuk tak beraturan.

Demikian juga anak-anak. Mengharap kehadiran sang ayah, menggenapi keceriaan bermainnya.

Lalu, siapa yang salah? Siapa yang mesti disalahkan?

Nobody! Nobody's wrong!! Karena semuanya telah mengerjakan dan menjalankan kewajiban dan urusannya masing-masing. Tidak ada yang salah! Suami telah bekerja. Istri telah bekerja. Anak-anak pun, bermain-main, merupakan pekerjaannya.

Hal-hal yang serta-merta terjadi, berjalan secara berbarengan pada satu waktu, laju dan tempat yang sama, memang akan mudah menciptakan gesekan-gesekan dan benturan-benturan. Gesekan-gesekan dan benturan-benturan yang tidak jarang menimbulkan percikan-percikan.

Kepenatan suami sepulang bekerja, kejenuhan sang istri seharian mengurus rumah, kebosanan anak-anak bermain-main--yang kadang juga disertai omelan sang ibu, berbaur.

Menghindari gesekan-gesekan dan benturan-benturan itulah yang semestinya dilakukan masing-masing pihak. Dan, pengendalian emosi & pikiran, merupakan kunci untuk melaksanakanya. Jauhkan prasangka-prasangka yang tidak layak. Berusahalah untuk saling mengerti dan memahami kondisi yang lain, bahwa bukan hanya dirinya sendiri yang telah lelah, jenuh dan bosan (dalam hal ini adalah suami dan istri, karena anak-anak, dengan kondisi yang dimiliki, mempunyai 'kemerdekaan' untuk melakukan apapun).

Yah, tidak mudah memang. Tapi, seberat apapun sebuah rintangan, jika kita tak pernah mencoba dan berusaha menyingkirkannya, jangan berharap ia akan bergeming dengan sendirinya.

Kalau toh pada akhirnya gesekan-gesekan dan benturan-benturan terjadi, itu pun merupakan suatu kewajaran. Toh, kita masih bisa menghindari untuk tidak terjadinya gesekan-gesekan dan benturan-benturan berikutnya. Untuk meghindari percikan-percikan yang menyakitkan...

Salam!!


PS. Buat bundanya Nurul: thanks for your love!
Gak ada kamu, ada yang terasa hampa di relung dada ini..... :)

Selasa, Juni 12, 2007

Memperingati Hari Antimadat Sedunia (26 Juni)

SAAT HIDUP BEGITU BERAT DAN MENYAKITKAN
NARKOBA BUKANLAH OBAT DAN PENYELESAIAN

IDEALNYA, hidup adalah sesuatu yang indah. Hidup, kita jalani dengan penuh keindahan. Tanpa beban. Penuh kemudahan. Apa yang kita inginkan dalam hidup ini dapat kita raih, dapat kita capai dengan penuh kemudahan.

Kehidupan rumah yang harmonis. Lingkungan yang ramah dan bersahabat. Studi yang lancar. Kerja yang nyaman.

Namun hidup, seringkali, memang tak seindah yang dibayangkan. Kenyataan hidup, lebih serring bertentangan dengan yang kita idamkan. Hidup sebagai sesuatu yang berat. Hidup sebagai hal yang menyakitkan.

Kacaunya kehidupan rumah. gagalnya hubungan dengan lingkungan. Gagalnya studi. Beragamnya persoalan kerja.

Cita-cita hidup yang gagal mendapatkan pencapaiannya, yang pada kondisinya, memang begitu menekan kita, memberatkan kita. Membuat kita lelah dan sakit.

Kita pun kemudian mencoba mencari penyelesaiannya. Mencoba mengangkat beban itu.

Kesana-kemari kita berlari-lari mencari jawaban. Mencari pertolongan. Mencari obat, penawar atas kesakitan hidup yang kita rasakan.

Namun, tak jarang kita pun seringkali tersasar, keblinger, salah mencari penyelesaian.

Salah satunya, pada narkoba.

Ya, narkoba!

Narkoba, yang dengan begitu meyakinkan, menawarkan pertolongan. Menawarkan penyelesaian atas kesulitan hidup kita, mengangkat beban berat hidup kita.

Dan, memang, kita pun mendapatkannya, mendapatkan pertolongan itu. beban hidup yang begitu menghimpit, dengan kehadiran narkoba, serasa terangkat dan terlepas dari diri kita. Kesakitan hidup yang begitu nyeri merajam, serasa hilang dengan datangnya narkoba.

Narkoba, ibarat pahlawan bagi kita atas kesulitan hidup yang kita rasakan.

Toh sebenarnya, itu hanyalah utopia. Hanya euforia utopis. Hanya fatamorgana belaka. Karena pada saatnya kelak, justeru narkobalah yang akan merampas hidup kita.

Narkoba bukanlah penyelesaian yang bisa membuat hidup lebih hidup. Narkoba hanyalah "setan" yang membuat berat beban hidup kian berlipat. Membuat persoalan hidup semakin rumit. Menjadikan kita budak atas penderitaan jiwa dan raga.

Sudah banyak bukti kita saksikan. Tak kurang berita di media massa: radio, suratkabar, televisi ataupun internet yang mengungkap sekian juta orang yang akhirnya hanya tambah merana gara-gara narkoba. Bahkan tidak sedikit di antaranya yang akhirnya mesti kehilangan nyawa. (Sekedar gambaran, berdasarkan data dari BNN, sekitar 1,5 persen dari seluruh populasi penduduk Indonesia, atau sekitar 3,2 sampai 3,6 juta orang Indonesia merupakan pemakai narkoba yang mana sekitar 15 ribu orang setiap tahunnya akhirnya meregang nyawa gara-gara narkoba. ironisnya, 78 persen korban tewas tersebut merupakan anak muda berusia antara 19-21 tahun.)

Akankah kita mengulangnya?

Akankah kita membiarkan kebodohan itu, kekonyolan itu terulang pada diri kita?

Seyogyanya kita sadari dan perhitungkan benar-benar segala keputusan kita, segala tindakan kita. Sesungguhnya Tuhan takkanlah memberikan beban, memberikan kesulitan pada kita di luar kemampuan kita. Saat Dia memberikan beban pada kita, saat itu pula Dia siapkan, Dia berikan penyelesaiannya. Inna ma'al-'usri yusran; sesungguhnya bersama kesulitan itu disertakan kemudahan. Demikian janji-Nya dalam salah satu firman-Nya.

Dan, kerja keras tanpa mengenal putus asa, disertai keimanan dan kepasrahan diri sepenuhnya atas kuasa-Nya, itulah sebenar-benar penyelesaian. Bukannya melarikan diri dari persoalan, dan menyerahkan diri pada "setan". Pada narkoba.

Ingatlah, narkoba bukan teman. Bukan obat. Bukan penyelesaian.

Ia nyata mengancam kita di balik "senyum"-nya yang menawan.

Senyum narkoba adalah senyum setan. Senyum kesengsaraan hidup kita.

Salam!


Sabtu, Juni 02, 2007

MENGATASI DEPRESI KARENA SAKIT HATI

SAKIT HATI, baik karena diputus pacar, difitnah orang ataupun gagal melakukan suatu kerjaan, suatu usaha, memang satu hal yang sangat menjengkelkan.

Sering membuat kacau urusan bahkan juga membuat kita depresi dan patah semangat. Bahkan Megi Z. pun sempat 'berkomentar', "... lebih baik sakit gigi daripada sakit hati ..." (padahal sakit gigi sendiri sudah begitu menjengkelkannya?!)

Tapi bagaimanapun, yang namanya sakit, penyakit, pasti ada obatnya. Kullu daa-in dawaa-un. Termasuk untuk sakit hati itu.

Dan bicara soal obat sakit hati, ada 'resep' yang kiranya bisa kita coba manfaatkan.

Hadapi dengan Lapang Dada

Melupakan hal-hal yang membuat kita depresi, membuat kita sakit hati, secara teoritis, memang ada benarnya. Tapi, meski lupa itu juga sifat manusia, toh kadang 'melupakan' justeru membuat sakit hati tambah nyeri. Karena biasanya, makin dilupakan, makin lengket saja kenangan menempel di ingatan.

So?

Ya, nikmati saja! Dalam arti, tidak usah kita ngotot harus melupakan, harus menyingkirkan masa lalu. Toh, ia pun bagian dari keberadaan kita hari ini dan esok hari. Tanpa masa lalu, tidak ada cerita kita hari ini dan esok hari. Dan bila perlu, kita buatkan file-nya, kita 'diary'-kan. Dengan catatan, kita melakukannya dengan lapang dada, dengan pikiran jernih.

Coba Pahami dan Mengerti

Kita buatkan dokumennya, setidaknya, untuk bahan introspeksi. Sebagai parameter untuk kita melangkah lebih jauh. Segala kegagalan, keruwetan, kekacauan, kita 'garisbawahi'. Kita pahami dan lalu coba kita mengerti, mengapa dan bagimana itu terjadi. Untuk selanjutnya, kita ambil hikmahnya, agar tidak terulang di kemudian hari. dan yang terpenting, kita dapat menyadari, jika segala sesuatu itu punya arti, meski tidak kita mengerti. Hal kegagalan sekalipun. Mungkin dengan kegagalan, akan menjadikan kita lebih baik sekarang dan untuk masa yang akan datang.


Percayalah, Tuhan tidak akan membebani hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak sanggup dipikulnya.

Bicarakan dengan Teman

Tidak bisa? Masih tetap ruwet? Ya, mungkin kita butuh orang lain utuk 'curhat'. Orangtua, kakak, saudara, teman atau siapa saja yang bisa diajak 'bicara' tentang apa yang sedang kita alami, yang membuat kita 'break'. Tidak usah risih atau malu-malu. Toh kita, manusia, adalah zoon politicon, yang diciptakan untuk hidup mesti bersama-sama dengan yang lain. Ya, barangkali saja dengan kita 'curhat' ke orang lain, persoalan bisa terselesaikan. Atau setidaknya, ada sedikit beban yang bisa terangkat. Ada yang menemani kesuntukan kita. Bukan berarti menyusahkan orang lain sih. Tapi, hidup untuk saling mengisi dan melengkapi, bukan? Untuk saling berbagi rasa?!

Pasrah dengan Yang di Atas

Belum berhasil juga? Mungkin memang ada yang 'error' dengan kita. So, jika sudah begitu, kiranya kita perlu pendekatan lagi dengan Yang di Atas. Toh Dia yang menciptakan segala keadaan kita, yang menentukan segala nasib kita. Mungkin selama ini kita sudah 'menjauhi'-Nya. Dan, dengan 'kesusahan' yang kita alami, Tuhan ingin menegur kita untuk 'kembali'. Saat segala usaha tidak bisa lagi memberi jawaban untuk semua soal, doa adalah satu-satunya hal yang masih dapat diharapkan. Tentu, kita melakukannya dengan sepenuh kepasrahan hati, tidak ada rasa curiga kalau Tuhan akan tidak menerima. Tuhan itu bagaimana kita memandang, bagaimana kita menilai-Nya. Jika kita memandang-nya baik, Tuhan 'pasti' baik. Jika kita menilai-Nya tidak baik, ya ... akanlah kesusahan selamanya kita alami. Toh Tuhan sendiri yang menjanjikan, "Ud-'unii astajib lakum" (berdoalah, mintalah pada-Ku, niscaya Aku kabulkan!)

Oke, semoga sakit hati kita, segala kesusahan kita, tidak terus berkelanjutan.

Salam!