Maklumat

Tulisan-tulisan terkini dapat juga didapatkan di halaman Kompasiana di alamat https://kompasiana.com/didikaha

Khusus untuk konten-konten sastra seperti puisi, cerpen dan esai silahkan kunjungi http://blog.edelweis-art.com. Terima kasih (Penulis)

Sabtu, Juli 26, 2008

Perlunya Kesadaran Bangsa Serumpun*

Oleh Viddy A.D. Daery**

Indonesia
dan Malaysia baru saja membentuk Dewan Pakar atau Eminent Persons Group (EPG) yang diresmikan Presiden SBY dan PM Malaysia Ahmad Badawi di Kuala Lumpur. Forum 14 pakar kedua negara itu bertugas membahas berbagai masalah guna meredakan ketegangan jika kedua negara terlibat konflik.

Menurut Dr Pudentia, anggota EPG dari Indonesia yang membawahi bidang budaya, ketika saya wawancarai via telepon, EPG sedang mengumpulkan berbagai data untuk merumuskan berbagai masalah antara dua bangsa serumpun, yaitu Indonesia-Malaysia, yang sering tampak ''tidak mesra".

Pada awal Agustus ini, beliau mengunjungi wilayah Satun, Thailand Selatan, serta Kepulauan Andaman dan Nicobar. Di sana terdapat masyarakat Melayu yang di antaranya adalah keturunan Jawa. Karena itu, di Patani dekat Satun, ada Kota Gerisik, yang di masa lalu sering dikunjungi para pedagang dan ulama Gresik di zaman Sunan Gresik.

Baru-baru ini, Menkominfo Mohammad Nuh dan Menteri Penerangan Malaysia yang baru Datok Ahmad Shabery Chik dengan tim masing-masing bertemu di Hotel Nikko, Jakarta, guna persiapan penandatanganan MoU kerja sama penyiaran dan pers/media massa negara/publik, swasta, berbayar maupun komunitas.

Selain itu, terbuka kemungkinan masyarakat luas dari kedua negara serumpun menyumbang ide dan saran, mungkin terutama dalam hal penekanan penyadaran keserumpunan.

Faktanya, Indonesia-Malaysia merupakan satu saudara sedarah, pernah menjadi satu kerajaan besar Melayu Raya, yaitu pada zaman Sriwijaya abad 7-9 M dan zaman Majapahit abad 13-15 M.

Dalam seminar Bugis di Indonesia-Malaysia baru-baru ini terungkap bahwa Sultan Johor adalah berdarah Bugis, keturunan pahlawan Bugis yang melarikan diri dari Kerajaan Gowa, Makassar, ketika terjadi perang saudara dengan Bone, yang Belanda ikut memecah belah.

Tentu banyak yang tahu Sultan Negeri Sembilan Malaysia adalah keturunan Raja Minangkabau. Juga, terungkap dalam diskusi sastra penyair Selangor, Malaysia, di TIM Jakarta baru-baru ini bahwa raja Kelang, Selangor, adalah keturunan Jawa dari zaman Majapahit.

Belum lagi kalau menelusuri zuriah Sultan Pahang, Perak, dan Kedah yang masih punya hubungan darah dengan sultan-sultan Aceh dan Melayu Deli. Alhasil, memang Malaysia dan Indonesia berasal dari darah yang sama, tetapi kenapa menurut seorang penanya seminar dari Malaysia, ''Kok masyarakat Indonesia lebih benci kepada Malaysia daripada Israel dan sebaliknya lebih bangga bersahabat dengan orang Amerika, Eropa, dan Tiongkok daripada bersahabat dengan orang Malaysia? Padahal, TKI mencari makan dengan mudah di Malaysia, sebaliknya dipersulit dan diinterogasi berjam-jam kalau mau masuk Amerika dan Eropa???"

Peran Media Massa

Maka, ada kesadaran bahwa peran media massa sangat ampuh untuk membangun atau sebaliknya menghancurkan kesadaran bangsa. Itu sudah terbukti dalam kisruh Indonesia-Malaysia.

Dalam seminar di Jakarta tersebut, seorang Sekjen Dewan Kesenian Ponorogo mengaku ditelepon berbagai wartawan daerah maupun ibu kota. Dia diprovokasi agar memprotes Malaysia setelah maraknya isu Malaysia mengklaim Reog Ponorogo, padahal kemudian terbukti yang memainkan Reog Ponorogo di Malaysia adalah imigran Ponorogo yang menguasai wilayah Batu Pahat, Johor, sejak disewa Inggris sebagai kuli perkebunan kopi dan karet pada 1800-an.

Demikian juga, penyiksaan TKI Indonesia oleh majikan etnis Tiongkok dan India karena masalah perbedaan agama sehingga ada konflik soal daging babi dan tidak boleh salat yang berujung penyiksaan. Media massa jarang, bahkan 99 persen tidak ada yang menyebut soal majikan etnis Tiongkok dan India sehingga seakan-akan yang menyiksa adalah rumpun keluarga sendiri sesama Melayu/Jawa.

Selain itu, terungkap dalam seminar tersebut, Indon adalah sebutan sayang, bukan sebutan menghina. Bahkan, para TKI di Kuala Lumpur bangga dan menyebut diri mereka Indon untuk membedakan diri dengan Filipino dari Filipina dan orang Thai atau Siam dari Thailand atau orang Cham dari Kamboja karena wajah dan postur mereka sama persis dengan Indonesia. Tentu juga sama dengan orang Melayu Malaysia. Sesungguhnya dalam bahasa antropologi, mereka semua adalah satu ras besar Austronesia atau Austro-Polinesia.

Satu Rumpun Besar

Dengan demikian, pertemuan kerja sama dua menteri penerangan Indonesia-Malaysia bisa berarti hendak memupuk lagi kesadaran persaudaraan dan kekeluargaan satu rumpun besar. Sebab, memang sejak reformasi, semua tatanan hancur berantakan, digulung gelombang perubahan tanpa skenario dan semua meneriakkan hak masing-masing, terutama penonjolan hak-hak kaum minoritas sambil mengeliminasi atau menyepelekan hak masyarakat luas.

Apalagi terbukti dari beberapa dokumen yang ditemukan, perjuangan hak kaum minoritas itu didanai besar-besaran oleh yayasan-yayasan Zionis dari luar negeri. Karena itu, mereka tidak pernah kehilangan nyali dan tenaga untuk menantang perang kaum mayoritas.

Kalau kita ingat pada 1950-an, film-film Malaysia sangat digemari penonton Indonesia dan poster-posternya terpampang berminggu-minggu di bioskop-bioskop kecil di seluruh pelosok Indonesia. Sebaliknya, film-film Indonesia juga disukai penonton Malaysia dan posternya berkibar-kibar di pawagam-pawagam (bioskop kuno) seluruh negara bagian Malaysia.

Di layar TVRI dan RTM-1 Malaysia, setiap bulan ada siaran bersama Titian Muhibbah sepanjang pemerintahan Orde Baru. Tetapi, kini semua itu musnah ditelan prahara reformasi yang ditumpangi para penumpang gelap. Padahal, bisa saja di dalamnya ada niat tersembunyi untuk menghancurkan bangsa Indonesia.

* Dikutip dari Jawa Pos Online edisi 25 Juli 2008
** Viddy A.D. Daery , anggota tim ahli analis media staf khusus Menkominfo di Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar