Maklumat

Tulisan-tulisan terkini dapat juga didapatkan di halaman Kompasiana di alamat https://kompasiana.com/didikaha

Khusus untuk konten-konten sastra seperti puisi, cerpen dan esai silahkan kunjungi http://blog.edelweis-art.com. Terima kasih (Penulis)

Selasa, September 25, 2007

Saat Kau Katakan Padaku bahwa Kau Mencintaiku*

ingin kupanggil bintang-bintang
turun dari langit
ingin kuhidup dalam hari
yang abadi
ingin kuubah dunia
hanya untukmu
segala yang tidak mungkin
ingin kulakukan

ingin kumendekapmu
di bawah hujan
ingin kukecup senyummu
dan rasakan kesedihan itu
kutahu betapa indahnya
memandangmu
dalam dunia kepalsuan
kaulah keniscayaan itu

dan kasih
setiap kali kau menyentuhku
kumenjadi kuat
kuingin melindungimu
tak peduli di manapun kau berada
dan membawamu
semua yang kau tanyakan
tak ada yang sulit bagiku
kubersinar seperti lilin di kegelapan
saat kau katakan padaku bahwa kau mencintaiku

kungin membuatmu tahu
aku apa adanya
menunjukanmu akan kesepian
dan apa itu adanya
kau melangkah ke dalam hidupku
menghentikan airmataku
segalanya menjadi mudah kini
kumemilikimu di sini

dan kasih
setiap kali kau menyentuhku
kumenjadi kuat
kuingin melindungimu
tak peduli di manapun kau berada
dan membawamu
semua yang kau tanyakan
tak ada yang sulit bagiku
kubersinar seperti lilin di kegelapan
saat kau katakan padaku bahwa kau mencintaiku

di dunia yang tanpamu
ku'kan selalu merindu
segala yang kuinginkan adalah cintamu 'tuk membuatku lebih tegar

dan kasih
setiap kali kau menyentuhku
kumenjadi kuat
kuingin melindungimu
tak peduli di manapun kau berada
dan membawamu
semua yang kau tanyakan
tak ada yang sulit bagiku
kubersinar seperti lilin di kegelapan
saat kau katakan padaku bahwa kau mencintaiku

kau mencintaiku
saat kau katakan padaku bahwa kau mencintaiku

* diterjemahkan bebas dari lirik lagu When You Tell Me that You Love Me [Diana Rose]
referensi tautan: The Other Side of ...

Sabtu, September 08, 2007

MENYUSUR KABUT


SENJA belum lagi sempurna. Namun mendung yang kian menggelayuti langit puncak, membuat lanskap menjadi gelap. Mentari pun seperti telah enggan bercahaya. Mempercepat malam menghadirkan dirinya.

Di balkon sebuah kamar pada lantai dua sebuah hotel yang berhadapan dengan hamparan perbukitan yang rimbun dengan pepohonan, di atas sebuah kursi rotan yang menyandar ke dinding, Pram masih mengeja kata demi kata di layar PDA-nya, mengeja e-mail dari Elinda yang telah dikirim perempuan itu dua jam yang lalu dari Pontianak namun baru saja Pram buka sekarang. Kesibukannya sejak pagi hari tadi meliput sebuah simposium ekologi internasional tentang krisis pemanasan global yang kian menggejala dewasa ini memang telah banyak menyita waktunya hingga iapun baru sempat membaca e-mail dari Elinda itu sekarang, saat jeda acara.

Berkali-kali sudah Pram membaca e-mail itu. Hingga kata demi kata seperti telah terhafal betul di kepalanya. Namun entahlah, seperti ada sesuatu yang belum juga ia mengerti. Kehadiran Elinda dalam hidupnya, sejak awal dikenalnya dua tahun silam memang tak pernah bisa ia definisikan sebagai apa. Sebagai teman, rasanya Elinda tidak cukup ia anggap hanya sebagai teman. Hubungan yang terjalin begitu akrab dengan perempuan itu, dengan kerinduan yang kerap menggejolak di dadanya saat berada jauh darinya, meski sudah hampir tujuh bulan ini hubungan itu merenggang, terlebih lagi sebulan terakhir di mana komunikasinya seperti putus sama sekali dengan Elinda, hingga akhirnya tiba-tiba saja ia mendapati e-mail Elinda itu di inbox-nya. Sebagai pacar? Ah, rasanya Pram pun belum—atau tepatnya tidak pernah—berani untuk mendefinisikan sejauh itu. Toh di samping Elinda, dalam kehidupannya telah ada Lilis, perempuan lain yang telah dikenalnya jauh sebelum Elinda yang telah dan masih juga ia cintai dan juga begitu mencintainya. Perempuan yang kini bahkan telah resmi menjadi istrinya. Menjadi Nyonya Prambudi Setyono.

Yeah..., Pram menghela nafas dalam-dalam. Ia mencoba melerai kegalauan yang mulai menyeruak di hatinya.

Pandangannnya kini beralih ke angkasa. Sorot matanya nampak menerawang jauh. Menembus dan menyusuri kabut.

* * *

"MAS Pram, nih ada temanku yang mau kenalan!"

"Hallo?! Mas Pram??!"

"Ya?!"

"Aku Elinda. Temannya Nela..."

Itulah perkenalan Pram dengan Elinda yang terjadi saat ia tengah ngobrol di telpon dengan Nela, teman ngefans di sebuah radio di Tegal. Pram memang pernah tinggal di kawasan pesisir pantura Jawa Tengah itu, tepatnya di Brebes, kota tetangga Tegal. Lebih dari setahun Pram tinggal di sana. Saat itu ia masih magang sebagai wartawan sebuah suratkabar nasional yang berkantor pusat di Jakarta sebelum kemudian dipindahkan ke Semarang—yang merupakan juga kota asal dan kelahirannya—dan akhirnya ditarik dan ditempatkan di kantor pusat hingga sekarang. Di sela-sela kesibukannya bertugas itulah, Pram seringkali pula mendengarkan siaran tembang-tembang nostalgia—yang menjadi favoritnya—dari sebuah radio swasta yang kemudian membawanya menjadi salah satu fans bersama Nela, yang kemudian mempertemukannya dengan Elinda.

Dan begitulah, keakrabanpun dengan mudah terjalin di antara mereka, di antara Pram dan Elinda. Terlebih, saat-saat itu ada kesamaan nasib yang mereka miliki. 'Broken heart'!

Ya, saat-saat itu Pram memang sedang menghadapi 'perang dingin' dengan Lilis, perempuan yang telah dipacarinya sejak awal kelas tiga SMA enam tahun sebelumnya. Kekerasan watak dan keegoisan yang sama-sama Pram dan Lilis miliki, yang kerapkali pula menghantam hubungan mereka, telah membuahkan satu konflik hebat hingga Lilis dan Pram sepakat untuk mengakhiri hubungan. Toh, baik Pram maupun Lilis kemudian tak pernah bisa melepaskan begitu saja bayangan yang lain dari ingatan masing-masing. Cinta yang telah begitu terpatri. Meski, bagi Pram, kehadiran Elinda pun sedikit banyak telah meredam kekacauan hatinya. Ingatan terhadap Lilis, sedikit banyak terlewati oleh sejarah barunya bersama Elinda.

* * *

ELINDA saat itu baru pulang dari Batam setelah bertahun-tahun bekerja di kantor sebuah perusahaan elektronik asing. Ia memutuskan keluar dari pekerjaannya dan kembali ke Tegal, karena memang merasa sudah tidak bisa bertahan hidup di sana. Kekecewaan dan sakit hati yang ditorehkan Irza, pacarnya, yang berpaling pada perempuan lain, dan itu adalah Wina, teman sekantor mereka yang membuatnya terpaksa mengambil keputusan itu. Padahal karirnya pun telah cukup lumayan di perusahaan.

Awal Elinda berkenalan dengan Pram, sebenarnya memang hanya iseng nimbrung ngobrol dengan teman Nela itu yang kebetulan saat itu ia sedang bermain ke rumah sahabat karibnya sejak kanak-kanak itu. Toh, bagi Elinda, rasa sakit yang begitu hebat akibat ingatan atas pengalaman pahitnya dengan Irza, telah cukup rapat menutup hatinya untuk kehadiran lelaki lain sebagai pengganti Irza. Namun dari keakraban demi keakraban yang terjalin kemudian dengan Pram, seperti telah menumbuhkan sebentuk benih baru di hatinya. Entah apa. Namun sama seperti Pram, ada rasa rindu dan kehilangan pula yang ia rasakan pada Pram saat ia lama tak berjumpa ataupun bercakap-cakap dengan lelaki itu. Hingga kemudian Elinda mendapatkan pekerjaan baru di Cirebon pada sebuah biro perjalanan dan Pram pun kemudian berpindah-pindah tugas hingga akhirnya ke Jakarta, keakraban itu tetap saja berlanjut, meski kini hanya lewat telpon dan internet. Dan benih itu pun tumbuh menjadi bunga-bunga di hati Elinda yang kian lama kian bermekaran.

* * *

TOH hubungan Pram dan Lilis pun akhirnya kembali membaik. Barangkali karena kedekatan kembali yang kini ada di antara mereka. Lilis pun sekarang tinggal di Jakarta. Ia diterima kerja di sebuah bank swasta asing. Hingga akhirnya mereka sepakat untuk menikah. Sementara itu hubungan Pram dengan Elinda perlahan merenggang, yang pada satu sisi, membuat Elinda harus menanggung kembali kekecewaan. Terlebih saat kemudian Pram mengabari bahwa dirinya telah kembali dengan Lilis dan bahkan telah menikah dengannya. Elinda seperti merasakan kembali sayatan yang begitu keras dan perih di hatinya. Ia memang menyadari sejauh ini hubungannya dengan Pram memang hubungan yang tanpa "status". Tak pernah sekalipun dirinya dan Pram membicarakan tentang cinta ataupun perasaan satu sama lain. Namun memang demikianlah yang ada di hati Elinda. Sebuah rasa kehilangan yang bahkan tidak ia rasakan saat ditinggalkan Irza dulu. Dan begitu menyakitkan.

* * *


Dear Mas Pram,

Mungkin ini e-mail terakhir yang aku tulis untukmu, karena terus terang, setelah ini aku tak tahu harus menulis apa dan harus bersikap bagaimana lagi kepadamu.

Terus terang saat ini aku merasa seperti Sinta yang terkurung di rimba raya Alengka dan merasa bodoh karena harus terbelenggu kesetiaan kepada Rama.

Begitulah, aku memang tak pernah bisa melepaskan perasaanku terhadapmu.

Andai waktu bisa diputar kembali. Setidaknya aku bisa mengutarakan perasanku padamu, sebelum jarak kembali merengkuh kebersamaan kita sekarang ini.

Toh aku pun memang tak berhak menyalahkanmu ataupun Lilis. Lilis memang telah hadir lebih awal daripadaku.

Mas Pram,

Namun boleh, kan aku bertanya padamu? Betulkah selama ini kau tidak mencintaiku pula?

Jujur sajalah, Mas. Toh itu tak akan merubah keadaan. Kau akan tetap bersama Lilis, dan aku tak mungkin merebutmu dari Lilis.

Mas Pram,

Asal kau tahu, kehadiranmu sungguh telah menyembuhkan sayapku yang patah. Meski mungkin tak pernah kausadari. Dan kepergianmu kini, sungguh telah mematahkannya kembali.

Elinda

Ps.

Sekarang aku dipindahtugaskan ke Pontianak. Biarlah. Barangkali sayapku akan dapat pulih kembali di sini. Hingga ia dapat mengembang dan membawaku kembali terbang menyusuri hidup yang penuh kabut.

Semoga perpisahan kita, tidak merapatkan kembali hatiku untuk lelaki.

* * *

TATAPAN Pram masih mengangkasa. Ada kabut pula yang mulai menebal di matanya. Menyusup masuk ke hatinya.

Ya, andai waktu bisa diputar kembali, gumam Pram lirih dalam hati.

Pram kembali menghela nafasnya dalam-dalam. Menghalau kegetiran yang semakin menjalari hatinya.

Akhirnya, iapun beranjak masuk ke dalam. Membiarkan pintu kamarnya tetap terbuka. Membiarkan kabut terus dan kian masuk menyelimuti hatinya.

Buitenzorg, Desember 2005
buat Irma:
thanks for the all!