Maklumat

Tulisan-tulisan terkini dapat juga didapatkan di halaman Kompasiana di alamat https://kompasiana.com/didikaha

Khusus untuk konten-konten sastra seperti puisi, cerpen dan esai silahkan kunjungi http://blog.edelweis-art.com. Terima kasih (Penulis)

Rabu, Juli 13, 2005

SUARA-SUARA


MUNGKIN aku gila. Mungkin bagi banyak orang—termasuk kau—aku adalah orang gila. Mungkin orang-orang semua—termasuk kau—menganggapku sudah tidak waras lagi—hingga kalianpun sepakat memasukkanku ke kamar teralis yang pengap ini!
Tapi sungguh aku sendiri benar-benar merasa diriku sehat. Aku merasa pikiranku benar-benar waras.

Dan suara-suara itu, ah, sungguh benar itu adalah kebenaran belaka. Suara-suara yang menuntunku. Seperti cahaya yang menerangi jalanku saat melintasi lorong gelap panjang.

Tapi biarkan aku menceritakan—menceritakan kebenaran itu. Hingga kaupun dapat mengerti siapa sebenarnya yang benar dan siapa sebenarnya yang salah.

Simak baik-baik dan kaupun akan menemukan kebenarannya.

Mulanya memang aku pun—sempat—tidak mempercayainya. Aku pikir itu hanya seperti suara kodok-kodok di musim hujan yang padahal air itu masih jauh menggantung di langit, tapi, mereka berisik sekali mengabarkan kedatangannya. Atau seperti burung gagak yang berputar-putar di atas atap rumahku yang bercerita tentang kematian padahal sampai tujuh hari kemudian, atau bahkan sampai tujuh bulan kemudian di rumahku semua orang tetap sehat-sehat saja adanya.

Ya, aku memang sempat meragukan dan tidak mempercayai—dan bahkan menolak sama sekali, sebagaimana kau saat ini, dan semua orang saat ini, kebenaran ucapannya.

Saat itu hari siang bolong saat aku pertama kali mendengar suara itu.

Aku sedang, seperti biasanya—dalam beberapa hari ini, duduk melamun (tapi aku lebih merasa sedang merenung; merenungi kehidupan ini yang Tuhan ciptakan untuk kita, manusia)—dan karenanya pula aku memilih pulang sekarang setelah sekian lama menjadi robot kapitalis di kota. Aku sedang merenung di kamarku di sebuah rumah kayu di sebuah desa di kaki gunung yang dingin—di sini memang rumah-rumah kebanyakan terbuat dari kayu, dengan kolong di bagian bawahnya, agar binatang-binatang buas pada malam hari tidak dapat memasuki rumah-rumah kami. Dan tak ada kebisingan di sini apalagi polusi duniawi yang selama ini begitu memuakkanku di ruang kota yang kotor dan sumpek. Di sini semua masih asri. Di sini semua masih asli. Di sini semuanya masih alami. Termasuk watak manusianya yang masih santun dan lugu setia berpegang pada adat tradisi dan agama—yang oleh manusia kota disebut kuno dan ketinggalan jaman.

Suara itu begitu nyaring mengiang di telingaku. Seperti dentum mesiu yang getarannya begitu memekakkan gendang telinga dan hampir-hampir membuatnya pecah. Atau ledakan gosip yang setiap hari terjadi di ruang publik kota yang telah meluluhlantakkan satu persatu infrastruktur jiwa—rasa kejujuran, ketulusan dan kepercayaan.

Suara itu, dengan keras dan jelas, mengatakan:

“Kaulah yang terpilih. Dunia ini telah rusak. Dan kaulah yang terpilih untuk menatanya kembali.”

Aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.

Dalam hati aku memang sempat membenarkan—sebagian, tapi tidak seluruhnya—ucapan itu.

Dunia memang telah rusak sekarang. Bahkan telah parah. Tangan-tangan manusia telah merusak banyak kreasi agung yang Tuhan ciptakan. Tangan-tangan manusia telah membabat liar pohon-pohon yang teduh untuk ditanami beton-beton dan kaca-kaca yang menyilaukan dan membuat gerah udara. Laut yang biru telah dicemari hingga kecoklatan yang memuakkan. Langit yang cerah telah dibuat gelap oleh asap-asap kotor yang keluar berjejal dari cerobong-cerobong industri kapitalisme. Manusia pun semakin suka bertikai dan saling bantai di antara sesamanya—selalu saja menimbulkan perselisihan, pertumpahan darah yang mengotori dan membuat bumi menjadi anyir.

Tapi, aku yang terpilih?

Kembali aku menggelengkan kepala—mencoba sekedar mengukur kadar egoisme diri.

Dan saat-saat berikutnya, hari-hari berikutnya akupun kembali larut berdiam diri di kamarku. Melupakan suara itu. Hingga suatu malam, dalam kedinginan yang begitu gigil mencekam badan dan jiwaku, suara itu kembali datang. Saat itu hampir saja aku bisa tertidur—atau aku sudah tertidur?—setelah berjam-jam lamanya, dengan begitu susah dan beratnya, berusaha menyeret anganku pergi ke dunia batin.

Seperti petir yang sedari tadi berguntur-guntur di luar—namun hujan tidak juga datang—suara itu, kembali, menyentak kesadaranku. “Kaulah yang terpilih!” ucapnya, “Kaulah yang terpilih untuk menata kembali dunia ini.

“Bangunlah. Pergilah keluar rumah. Bereskan semuanya. Tata kembali semua yang telah rusak.”

Dan, seperti sebelumnya, tanpa pamit dan dengan tiba-tiba, suara itu kembali pergi.

Kali ini, meski masih juga belum percaya penuh, namun tidak sepenuhnya pula aku tidak peduli. Nyatanya, suara itu seperti pohon yang tiba-tiba tumbang di tengah jalan, memotong jalanku, saat aku baru saja hendak beranjak ke dunia batin. Dunia Keabadian. Dan aku tak mampu mengangkat atau menyingkirkannya. Hingga aku hanya bisa terhenti di sini, terkatung-katung di daerah batas kesadaran—daerah kantuk, sampai fajar menyingsing di ufuk Timur dan bahkan mentari telah jauh naik hingga hampir ke atas ubun-ubunku. Baru ketika mentari telah benar-benar naik ke atas ubun-ubunku aku baru bisa memejamkan mata kembali—meneruskan kembali perjalanan ke Dunia Keabadian. Namun suara itu seperti belum saja puas. Ia, bahkan, menguntitiku ke dunia ini. Dan di sini, suara itu kian jelas adanya. Bahkan ia menjelma pada sesosok entah siapa entah apa—yang begitu bercahaya dan menyilaukan. Hingga setiap kali mataku berusaha menatap dan mencari kejelasannya, selalu saja kembali tertunduk.

“Kaulah yang terpilih,” suara itu kembali mengulang kata-kata yang sama itu, yang telah kuhafal betul. “Kaulah yang terpilih. Lihatlah dunia semakin hancur. Bumi telah begitu sakit oleh ulah tangan manusia—makhluk sejenismu; anak keturunan Adam yang seharusnya berkewajiban menjaga dan melestarikannya! Langit pun merasakan kesakitan yang sama.

“Kaulah yan terpilih. Karena peringatan-peringatan yang diberikan, tak pernah dihiraukan. Berapa kali, sekedar sebagai peringatan, bumi telah dibelah? Berapa kali lahar telah dimuntahkan dari pucuk gunung? Berapa kali air—dengan deras dan banyaknya—disiramkan dari langit berlama-lama? Berapa kali laut ditumpahkan ke daratan? Berapa kali angin telah ditiupkan kencang?

“Tapi selalu saja manusia tak peduli. Tobatnya hanyalah kebohongan. Karena segera setelah itu berlalu, manusia pun kembali mengumbar nafsunya—merusak kembali benda-benda alam, menyakiti kembali alam, membuat kembali keonaran-keonaran, kekejian-kekejian.

“Kaulah yang terpilih. Kaulah yang terpilih untuk melakukan tugas ini—menyadarkan manusia, menyadarkan bangsamu!!”

“Tapi…..” Tapi sebelum aku sempat sekedar bertanya kenapa aku yang harus terpilih dan kenapa aku harus menerimanya—melakukannya, ia kembali pergi. Dan akupun terjaga. Bahkan sampai malam harinya. Bahkan sampai esok harinya.

Esok harinya, setelah semalaman berpikir dengan sangat keras tentang suara itu—tentang kebenarannya, dengan seperti sebentuk kesadaran yang tiba-tiba saja muncul dalam diriku, dan begitu menyentak seperti banjir-banjir itu, seperti lahar-lahar itu, seperti angin topan itu, akhirnya aku memutuskannya.

Akulah yang terpilih. Ya, ya, akulah yang terpilih. Akulah memang yang pantas menjalankannya. Dan aku memang harus menjalankannya.

Maka, dengan berbekal keyakinan akan kebenaran suara itu, aku keluar rumah. Pergi—kembali—ke kota. Pergi—kembali—ke orang-orang ramai. Tapi bukan untuk kembali menjadi robot. Aku pergi ke kota untuk mengembalikan robot-robot yang ada ke bentuk asalnya. Aku pergi ke kota untuk menyadarkan manusia-manusia robot itu.

Aku pergi mengemban tugas ini. Aku mengabarkan dan menyadarkan orang-orang akan kebenaran suara itu.

Tapi setiap orang yang kutemui, hampir semua tidak mempercayaiku. Semua manusia yang kutemui, hampir semua tak mempedulikanku. Bahkan membantahku dan menganggapku gila.

“Ah, banjir cuma gejala alam,” kata salah seorang yang kutemui. “Ah, angin topan hanya karena adanya rotasi bumi yang tidak normal,” kata yang lain.

“Lalu apa hubungannya dengan kita?

“Kalau kita kadang berselisih, kita kadang bertikai, bukankah itu hanya karena naluri manusiawi kita—untuk bertahan? Dan naluri itu pun adalah anugerah Tuhan, bukan?

“Toh bukankah hidup ini sendiri adalah perjuangan? Siapa yang kuat dia yang dapat. Tidak ada yang gratis dalam hidup ini. Benar, kan, Bung? Dan jika perlu kita harus saling membunuh—untuk mendapatkan apa yang kita cari, kita butuhkan, kenapa tidak?”

“Dan kau yang terpilih… Terpilih untuk apa? Terpilih oleh siapa?

“Kau hanya mimpi, Bung. Mimpi!”

“Sudahlah, kembalilah ke asalmu. Tidur saja dengan selimut kabutmu di sana.

“Kau tak bakal mengerti dengan pola dan aturan kehidupan manusia sekarang.”

Orang-orang terus megolok-olokku. Bahkan mulai mengataiku gila.

Ada sebenarnya satu, dua orang yang mau juga peduli, mau juga menghiraukan omongan-ku. Bahka mereka mau mengikutiku—mengikuti ucapan-ucapanku, mengikuti kemanapun aku pergi—tapi ada juga yang hanya peduli tapi tidak mau mengikutiku—seperti kau mungkin.

Hingga, tanpa terasa, telah berhari-hari, telah berbulan-bulan, telah bertahun-tahun aku melaksanakan misiku ini. Tapi tetap saja orang-orang tak peduli. Bahkan seiring waktu kian bertambah, kian bertambah pula jumlah orang yang mengingkariku. Bahkan mereka yang dulu percaya padaku, satu persatu mulai meninggalkanku.

Hingga, setelah cukup berpikir, akupun merasa harus menggunakan cara lain. Kata-kata mungkin tak lagi berarti. Kata-kata mungkin bukan sesuatu yang nyata. Mereka mungkin butuh sesuatu yang nyata.

Akhirnya, dengan pengikut-pengikutku yang tersisa, aku mulai menggunakan cara lain guna menyadarkan manusia. Aku membuat bencana-bencana kecil. Aku buat kehancuran-kehancuran kecil—ya, kecil jika dibandingkan dengan bencana-bencana itu; lahar yang meleleh, banjir yang dahsyat, topan yang ganas. Aku sekedar meledakkan satu - dua bangunan manusia. Aku sekedar merusak satu - dua kreasi manusia. Aku sekedar membuat ketakutan dan kecemasan kecil—ya, ketakutan dan kecemasan kecil jika dibandingkan dengan ketakutan dan kecemasan terhadap bencana-bencana itu.

Tapi, ah, manusia tetap saja tak peduli. Orang-orang tetap saja tak menghiraukanku. Bahkan menuduhku telah membuat onar, membuat anarki. Telah menyebarkan teror. Menuduhku keji. Menudingku gila. Dan lalu menyeretku ke sini. Ke balik ruang teralis baja ini. Untuk kemudian esok dieksekusi. Mati!

Bahkan orang-orang yang dulu mau mengindahkanku—termasuk kau?—sepakat pula dengan mereka.

“Kebenaran itu memang nyata, Bung.

“Tapi kau tak perlu melakukannya. Kau tak perlu sampai menghakimi. Kau tak berhak memutuskan hukuman-hukuman itu.

“Dan, kau bahkan korbankan orang-orang yang juga percaya padamu. Kau lihat, berapa manusia yang percaya padamu ikut menjadi korban karena ulahmu menghancurkan segalanya?”

Segalanya? Ah, terlalu berlebihan. Toh aku hanya melakukan hal-hal kecil. Dan, kalau aku—yang disebut mereka dan barangkali juga kau sebagai teroris—tidak harus melakukannya, lalu aku harus bagaimana lagi? Haruskah aku membiarkan manusia terus tersesat dengan hawa nafsunya dan menunggu hingga bencana-bencana besar itu datang lagi—dengan korban yang tentunya lebih banyak lagi?

Kenapa mereka tidak mempercayaiku? Kenapa kau tak mempercayaiku? Betulkah aku gila?

Dan, suara itu, suara-suara itu. Ah, kemana pula suara-suara itu? Kemana kebenaran-kebenaran itu? Kenapa suara-suara itu tak lagi terdengar kini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar