Maklumat

Tulisan-tulisan terkini dapat juga didapatkan di halaman Kompasiana di alamat https://kompasiana.com/didikaha

Khusus untuk konten-konten sastra seperti puisi, cerpen dan esai silahkan kunjungi http://blog.edelweis-art.com. Terima kasih (Penulis)

Tampilkan postingan dengan label SASTRA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SASTRA. Tampilkan semua postingan

Rabu, September 01, 2021

Karya Seni sebagai (Media) Kritik dan Gagasan Politik

Puisi Wiji Thukul - Peringatan

 

"The worst illiterate is the political illiterate, he doesn't hear, doesn't speak, nor participates in the political events. He doesn't know the cost of life, the price of the bean, of the fish, of the flour, of the rent, of the shoes and of the medicine, all depends on political decisions. The political illiterate is so stupid that he is proud and swells his chest saying that he hates politics. The imbecile doesn't know that, from his political ignorance is born the prostitute, the abandoned child, and the worst thieves of all, the bad politician, corrupted and flunky of the national and multinational companies." (Bertolt Brecht)


Menjadi seniman yang terjun ke ranah politik (merujuk kepada politik sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama), memang ngeri-ngeri sedap. Betapa tidak. Tidak sedikit seniman yang terjun ke ranah politik berakhir dengan intimidasi, kekerasan, bahkan kehilangan nyawa atau hak hidupnya.

Selain mural yang sedang ramai diperbincangkan, sastra dan teater merupakan dua bidang kesenian yang banyak digunakan oleh para seniman untuk berpolitik. Di negeri manapun. Di negeri ini sendiri setidaknya kita mengenal tiga nama: Pram, Rendra dan Wiji Thukul. (Baca selengkapnya)

Rabu, Juli 25, 2007

PERNYATAAN SIKAP SASTRAWAN ODE KAMPUNG (2)

Serang, Banten, 20-22 Juli 2007:

Kondisi Sastra Indonesia saat ini memperlihatkan gejala berlangsungnya dominasi sebuah komunitas dan azas yang dianutnya terhadap komunitas-komunitas sastra lainnya. Dominasi itu bahkan tampil dalam bentuknya yang paling arogan, yaitu merasa berhak merumuskan dan memetakan perkembangan sastra menurut standar estetika dan ideologi yang dianutnya. Kondisi ini jelas meresahkan komunitas-komunitas sastra yang ada di Indonesia karena kontraproduktif dan destruktif bagi perkembangan sastra Indonesia yang sehat, setara, dan bermartabat.

Dalam menyikapi kondisi ini, kami sastrawan dan penggiat komunitas-komunitas sastra memaklumatkan Pernyataan Sikap sebagai berikut:

1. Menolak arogansi dan dominasi sebuah komunitas atas komunitas lainnya.
2. Menolak eksploitasi seksual sebagai standar estetika.
3. Menolak bantuan asing yang memperalat keindonesiaan kebudayaan kita.

Bagi kami sastra adalah ekspresi seni yang merefleksikan keindonesiaan kebudayaan kita di mana moralitas merupakan salah satu pilar utamanya. Terkait dengan itu sudah tentu sastrawan memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat (pembaca). Oleh karena itu kami menentang sikap ketidakpedulian pemerintah terhadap musibah-musibah yang disebabkan baik oleh perusahaan, individu, maupun kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat, misalnya tragedi lumpur gas Lapindo di Sidoarjo. Kami juga mengecam keras sastrawan yang nyata-nyata tidak mempedulikan musibah-musibah tersebut, bahkan berafiliasi dengan pengusaha yang mengakibatkan musibah tersebut.

Demikianlah Pernyataan Sikap ini kami buat sebagai pendirian kami terhadap kondisi sastra Indonesia saat ini, sekaligus solidaritas terhadap korban-korban musibah kejahatan kapitalisme di seluruh Indonesia.

Kami yang menyuarakan dan mendukung pernyataan ini:
01. Wowok Hesti Prabowo (Tangerang) 02. Saut Situmorang (Yogyakarta) 03. Kusprihyanto Namma (Ngawi) 04. Wan Anwar (Serang) 05. Hasan Bisri BFC (Bekasi) 06. Ahmadun Y. Herfanda (Jakarta) 07. Helvy Tiana Rosa (Jakarta) 08. Viddy AD Daeri (Lamongan) 09. Yanusa Nugroho (Ciputat) 10. Raudal Tanjung Banua (Yogya) 11. Gola Gong (Serang) 12. Maman S. Mahayana (Jakarta) 13. Diah Hadaning (Bogor) 14. Jumari Hs (Kudus) 15. Chavcay Saefullah (Lebak) 16. Toto St. Radik (Serang) 17. Ruby Ach. Baedhawy (Serang) 18. Firman Venayaksa (Serang) 19. Slamet Raharjo Rais (Jakarta) 20. Arie MP.Tamba (Jakarta) 21. Ahmad Nurullah (Jakarta) 22. Bonnie Triyana (Jakarta) 23. Dwi Fitria (Jakarta) 24. Doddi Ahmad Fauzi (Jakarta) 25. Mat Don (Bandung) 26. Ahmad Supena (Pandeglang) 27. Mahdi Duri (Tangerang) 28. Bonari Nabonenar (Malang) 29. Asma Nadia (Depok) 30. Nur Wahida Idris (Yogyakarta) 31. Y. Thendra BP (Yogyakarta) 32. Damhuri Muhammad 33. Katrin Bandell (Yogya) 34. Din Sadja (Banda Aceh) 35. Fahmi Faqih (Surabaya) 36. Idris Pasaribu (Medan) 37. Indriyan Koto (Medan) 38. Muda Wijaya (Bali) 39. Pranita Dewi (Bali) 40. Sindu Putra (Lombok) 41. Suharyoto Sastrosuwignyo (Riau) 42. Asep Semboja (Depok) 43. M. Arman AZ (Lampung) 44. Bilven Ultimus (Bandung) 45. Pramita Gayatri (Serang) 46. Ayuni Hasna (Bandung) 47. Sri Alhidayati (Bandung) 48. Suci Zwastydikaningtyas (Bandung) 49. Riksariote M. Padl (bandung) 50. Solmah (Bekasi) 51. Herti (Bekasi) 52. Hayyu (Bekasi) 53. Endah Hamasah (Thullabi) 54. Nabila (DKI) 55. Manik Susanti 56. Nurfahmi Taufik el-Sha’b 57. Benny Rhamdani (Bandung) 58. Selvy (Bandung) 59. Azura Dayana (Palembang) 60. Dani Ardiansyah (Bogor) 61. Uryati zulkifli (DKI) 62. Ervan ( DKI) 63. Andi Tenri Dala (DKI) 64. Azimah Rahayu (DKI) 65. Habiburrahman el-Shirazy 66. Elili al-Maliky 67. Wahyu Heriyadi 68. Lusiana Monohevita 69. Asma Sembiring (Bogor) 70. Yeli Sarvina (Bogor) 71. Dwi Ferriyati (Bekasi) 72. Hayyu Alynda (Bekasi) 73. herti Windya (Bekasi) 74. Nadiah Abidin (Bekasi) 75. Ima Akip (Bekasi) 76. Lina M (Ciputat) 77. Murni (Ciputat) 78. Giyanto Subagio (Jakarta) 79. Santo (Cilegon) 80. Meiliana (DKI) 81. Ambhita Dhyaningrum (Solo) 82. Lia Oktavia (DKI) 83. Endah (Bandung) 84. Ahmad Lamuna (DKI) 85. Billy Antoro (DKI) 86. Wildan Nugraha (DKI) 87. M. Rhadyal Wilson (Bukitingi) 88. Asril Novian Alifi (Surabaya) 89. Jairi Irawan ( Surabaya) 90. ... 91. Langlang Randhawa (Serang) 92. Muhzen Den (Serang) 93. Renhard Renn (Serang) 94. Fikar W. Eda (Aceh) 95. Acep Iwan Saidi (Bandung) 96. Usman Didi Khamdani (Brebes) 97. Diah S. (Tegal) 98. Cunong Suraja (Bogor) 99. Muhamad Husen (Jambi) 100. Leonowen (Jakarta) 101. Rahmat Ali (Jakarta) 102. Makanudin RS (Bekasi) 103. Ali Ibnu Anwar ( Jawa Timur) 104. Syarif Hidayatullah (Depok) 105. Moh Hamzah Arsa (Madura) 106. Mita Indrawati (Padang) 107. Suci Zwastydikaningtyas (Bandung) 108. Sri al-Hidayati (Bandung) 109. Nabilah (DKI) 110. Siti Sarah (DKI) 111. Rina Yulian (DKI) 112. Lilyani Taurisia WM (DKI) 113. Rina Prihatin (DKI) 114. Dwi Hariyanto (Serang) 115. Rachmat Nugraha (Jakarta) 116. Ressa Novita (Jakarta) 117. Sokat (DKI) 118. Koko Nata Kusuma (DKI) 119. Ali Muakhir (bandung) 120. M. Ifan Hidayatullah (Bandung) 121. Denny Prabowo (Depok) 122. Ratono Fadillah (Depok) 123. Sulistami Prihandini (Depok) 124. Nurhadiansyah (Depok) 125. Trimanto (Depok) 126. Birulaut (DKI) 127. Rahmadiyanti (DKI) 128. Riki Cahya (Jabar) 129. Aswi (Bandung) 130. Lian Kagura (Bandung) 131. Duddy Fachruddin (Bandung) 132. Alang Nemo (Bandung) 133. Epri Tsaqib Adew Habtsa (Bandung) 134. Tena Avragnai (Bandung) 135. Gatot Aryo (Bogor) 136. Andika (Jambi) 137. Widzar al-Ghiffary (Bandung) 138. Azizi Irawan Dwi Poetra (Serang)

Kamis, Mei 31, 2007

PUISI BUKANLAH "SPEECH ACT"

DALAM sebuah perbincangan SMS, seorang teman di Semarang yang telah lama ‘jatuh hati’ pada puisi—dan kerapkali pula intens mempelajari puisi—dengan begitu pesimistis mengeluh, kendati ia telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memahami (bahasa) puisi, tetap saja ia kerepotan untuk bisa mengerti apa yang dimaksudkan oleh puisi. Hingga puisi pun, baginya, tak lain memang adalah ‘makhluk aneh’ yang mungkin tidak harus ‘dipusingkan’ keberadaannya.


Ironis! Sungguh saya dapat membayangkan betapa ‘putus asa’-nya ia karena kebuntuan yang dialaminya itu.


Toh ini bukanlah satu-satunya keluhan tentang puisi yang pernah saya temui. Seperti kali lain pada sebuah acara pembacaan puisi yang dilakukan oleh “presiden” penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Seorang penonton, mahasiswa sebuah PTN terkemuka di Jakarta yang berada di sebelah saya, mencak-mencak karena dirinya merasa tidak mudeng dengan apa yang dibacakan sang “presiden”, hingga ia pun ngeloyor meninggalkan tempat padahal pembacaan-pembacaan puisi lainnya masih ngantri di belakang.


Sungguh ironis. Nasib puisi sungguh begitu ironis. Di saat ia mencoba menyuarakan simpati dan empatinya terhadap berbagai polemik dan persoalan kehidupan, lingkungan (orang-orang) seakan tidak pernah dapat mendengarkan suaranya itu, meski ia telah lantang mengeluarkan seluruh potensinya. Suara puisi tetap saja bisu dan sunyi di tengah hingar-bingar suara-suara lain.


Namun, benarkah itu memang karena kesalahan penyair (sebagai “agen” puisi) yang tidak pandai mempresentasikan puisi? Atau, jangan-jangan itu justeru karena kesalahan kita, audiens, yang tidak mampu menangkap dan memahami suara (baca: pesan) puisi?


Anyway, sebelum kita ‘memvonis’ siapa yang salah dalam hal ini, ada baiknya kita ulas kembali tentang apa sebenarnya puisi itu sendiri.


Sebagai karya sastra, sebagaimana diterangkan A. Teeuw dari Universitas Leiden (Belanda) dalam bukunya Sastra dan Ilmu Sastra, puisi bukanlah speech act (tindak tutur yang normal) di mana ambiguitas dalam situasi puisi justeru built-in; pemaknaan puisi diserahkan kepada pembaca dengan merujuk pada kata-kata teksnya. Dan kata-kata teks itu sendiri, merupakan suatu ikatan yang menyeluruh, atau dengan meminjam istilah Saini KM, puisi merupakan “organisasi kata”. Pemaknaan puisi adalah menyeluruh pada kata-kata yang ada. Jadi, tidak bisa kita mengartikan sebuah puisi dengan membaca satu bait—apalagi satu baris—nya saja. Dan, makna kata pada puisi sendiri bersifat khas, di mana satu kata pada sebuah puisi, akan dapat berbeda konotasi dan orientasinya pada puisi lainnnya. Seperti kata tuhan dalam Saksikan oleh-Mu, Tuhan-ku/Ombak yang pecah tak lagi merdu (Elegi Pantai Kuta, 121002; Furry Setya Raharja) dan dalam yang mutakhir adalah membunuh tuhan (Jakarta, bukan Kotaku; Apito Lahire), di mana tuhan pada puisi yang pertama jelas-jelas yang dimaksud adalah tuhan pada sejati-Nya, baik dzat maupun sifat-Nya, berbeda dengan tuhan pada puisi kedua yang hanya sebagai simbol dari keimanan dan atau rasa/sifat keilahian yang ada dalam hati.


Adapun mengenai ilmu atau kaidah kebahasaan yang sering juga dipersoalkan, itu pun memang harus dikuasai oleh penyair dalam mengelola puisinya. Namun demikian, kaidah kebahasaan di sini bukanlah pada soal penggunaan tanda baca ataupun pemakaian besar kecilnya huruf. Toh, bagaimanapun, puisi itu berbeda dengan prosa. Dalam hal ini, penyair dibebaskan untuk memilih bentuk puisinya apakah itu menggunakan titik atau tidak, memakai huruf besar atau kecil, dan sebagainya, yang dikenal sebagai licenciae poetica—atau ‘kebebasan kreatif’ menurut istilah Jamal T. Suryanata. Kaidah kebahasaan yang dimaksud mengarah pada kata-kata teksnya yang harus ‘membumi’ di mana secara nalar dapat dipahami artinya, tidak ngawang-awang, lepas dari konteks pemaknaan yang selama ini disepakati bersama. Kata-kata tersebut harus inklusif terhadap pemahaman bersama. Seperti saat menggunakan kata "angsa putih", maka konotasi ataupun orientasi maknanya harus mengacu kepada "seekor unggas berleher panjang dengan bulu-bulu tubuhnya berwarna putih …", bukannya hewan lain atau entah apa yang maknanya eksklusif hanya disepakati si penyair sendiri. Apalagi menggunakan kata-kata yang sama sekali tidak ada dalam kamus bahasa apapun kecuali kamus bahasa si penyair.


Namun demikian, aspek kebahasaan, seperti dikutip Teeuw dari seorang ahli puisi asal Inggris, Jonathan Culler dalam bukunya di atas, pun bukanlah yang pertama-tama menjadikan sebuah tulisan sebagai puisi, melainkan konvensi, type of reading (cara baca) yang
‘dipaksakan’ pada pembaca hingga pembaca paham bahwa itu adalah puisi, yaitu meliputi, pertama, jarak dan diksi (distance and deixis). Kata diksi adalah kata yang referennya berganti-ganti, tergantung pada siapa yang menjadi pembicara serta saat dan tempat dituturkannya kata itu. misalnya aku, ini, di sini, kemarin dan lain-lain. Diksi berfungsi ikut membina dunia rekaan, mengarahkan pembaca sebagai persona yang meditatif, perenung. Puisi yang disajikan sebagai pernyataan pribadi dibaca dalam konteks referensi yang dibina dan memberi puisi itu koherensinya. Membaca puisi adalah lepas dari situasi tindak ujaran yang biasa; arti kata dalam pemakaian bahasa sehari-hari dimanfaatkan sekaligus dibuang untuk memberi makna pada puisi.


Seperti tentang puisi Joko Pinurbo: Pohon Cemara berikut:

Di depan rumahmu ia betah berjaga mengawal sepi,
dari jauh terlihat tenang dan tinggi.
Jaman berubah cepat, andaikan nasib dapat diralat,
dan pohon cemara masih saja serindang mimpi.


Pada dahannya masih tergantung sepotong celana:
gambar panah di pantat kanan, gambar hati
di pantat kiri; dicumbu angin ia menari-nari.


Burung bulan suka bersarang di ranting-rantingnya,
bulunya berhamburan di tangkai-tangkainya.


Aku pulang di malam yang tak kauduga.
Hallo, itu celana kok sudah beda pantatnya:
panah telah patah, hati telah berdarah;
darahnya kausimpan di botol yang tidak mudah pecah.


(2005)


Kata malam, aku dan atau kau pada puisi di atas, akan dapat berbeda referennya, ketika puisi tersebut dibaca orang lain. Aku bukan lagi aku sebagai Joko Pinurbo (penyair) tapi mungkin si A atau si B yang ‘berkepentingan’ dengan puisi tersebut. Kau tak lagi kau seperti yang dimaksud penyair saat menulis puisi tapi mungkin entah siapa, begitu pun malam tidak lagi menjadi malam pada pengalaman penyair tapi bisa jadi malam yang lain, mengacu pada referensi pengalaman pembacanya. Jarak (ruang dan waktu)-nya berubah menuruti ‘kepentingan’ yang ada.


Kedua, keseluruhan yang organik (organic wholes). Harapan koherensi dan kebulatan makna yang menentukan kegiatan penafsiran oleh pembaca, sebagaimana diterangkan di depan. Menafsirkan sebuah puisi adalah mengandaikan kebulatan, kemudian memberi makna pada kesenjangannya.


Ketiga, tema dan perwujudan (theme and ephiphany). Puisi diandaikan memiliki kekayaan implisit yang menjadikan usaha untuk memahaminya cukup menarik. Puisi yang pada lahirnya dapat kita baca sebagai peristiwa insidental atau pengalaman individual, mau tak mau kita berikan makna universal dan manusiawi.


Contohnya puisi Aku-nya Chairil Anwar yang pada lahirnya ditulis penyair sebagai resepsi pengalaman individual hidupnya yang perih—antara lain akibat perceraian orangtuanya, sebagimana pernah diceritakan karibnya, Asrul Sani, tiba-tiba saja menjadi universal. Puisi Aku dianggap sebagai “proklamasi” Angkatan ’45—seperti larik Aku ini binatang jalang yang sering dimaknai sebagai “yel” pemberontakan atau perjuangan melawan tradisi yang begitu ‘mengungkungi’ kala itu (tahun 1940-an).


Begitu pun puisi Pohon Cemara di atas dan puisi-puisi lainnya yang ‘sebenarnya’ merupakan pengalaman individual penyair, mau tak mau, ketika puisi hadir di tengah-tengah khalayak pembaca universal, itu pun menjadi pengalaman universal yang menjadi terserah untuk dimaknai atau disikapi oleh siapapun.


Demikianlah dan dari uraian di atas, kiranya dapat dipahami sekarang mengapa puisi selama ini sulit dipahami. Ini tidak lain karena konvensi yang ada pada puisi memang tak pernah dipahami secara utuh. Baik oleh penyair yang karenanya menjadikan puisinya “semau gue’ hingga yang terjadi kemudian adalah puisinya menjadi ‘gelap’, juga pembaca yang membaca dan menafsirkan puisi dengan ‘semau gue’ pula.


Thus, marilah kita bersama mulai menyikapi puisi dengan lebih ‘arif’, lebih intens dan sungguh-sungguh, hingga saat puisi (kembali) menyuarakan dirinya kita pun dapat mendengar dan menikmatinya dengan seksama, menangkap apa-apa yang disuarakan (baca: dipesankan) olehnya. Suara-suara puisi tidak lagi terbungkus kebisuan, namun dapat nyaring dan memberi kita makna dan pencerahan.

Kamis, Mei 24, 2007

KETIMPANGAN RETORIKA: FAKTOR UTAMA KEGAGUAN PUISI


TUJUAN dari suatu komunikasi adalah terjalinnya kesepakatan antara komunikator (penyampai pesan) dengan komunikan (penerima pesan), yaitu bahwa komunikasi dapat menghasilkan feedback (respon) positif dari komunikan atas message (pesan) yang disampaikan komunikator. Adapun proses atau hal penciptaan feedback positif, oleh komunikator, disebut dengan retorika.

Namun acapkali komunikasi pun menghasilkan feedback nol ataupun negatif; suatu kondisi di mana komunikan tidak dapat menerima ataupun menolak sama sekali message yang disampaikan komunikator. Hal ini dikarenakan adanya ketimpangan-ketimpangan dalam hal retorika tersebut.

Puisi sebagai form komunikasi, pun tidak luput dari permasalahn itu. Ia, dalam penyampaiannya oleh komunikator (dalam hal ini: penyair), seringkali terkesan `gagu` bahkan tidak jarang menimbulkan misunderstanding bagi pembaca dan penikmatnya (sebagai komunikan).

Ketimpangan-ketimpangan itu biasanya terjadi karena dua hal:

1. Kesalahan memilih dan menempatkan citra dan atau lambang

2. Kegelapan makna citra dan atau lambang



Puisi adalah Organisasi Kata


Puisi adalah organisasi kata. Yaitu bahwa masing-masing kata sebagai unsur pembentuknya yang tersaji dalam citra dan lambang, haruslah saling mengisi dan melengkapi. Hubungan di antara unsur tersebut begitu erat. Baik dalam lingkup internal bait maupun antarbait. Perhubungan ini berkaitan erat dengan interpretasi puisi nantinya. Yang pada kondisinya, kesalahan mengakomodasi kata, sekecil apapun, dapat megurangi nilai dari puisi. Bahkan dapat menjadikan gagalnya puisi.

Citra
, merujuk kepada konsepsi Saini KM, merupakan gambaran dari pemahaman penyair terhadap sesuatu obyek dan sekiranya gambaran tersebut dapat menunjukkan entitas warna pikir pemahaman tadi. Seperti puisi Eka Purwaningsih: 111 berikut, yang merupakan pencitraan penyair akan berbagai teror dan tragedi yang belakangan ini melanda umat manusia di berbagai penjuru dunia—tidak terkecuali Indonesia—yang dianggap penyair sebagai “permainan benang merah” ataupun “pantomim” Dewa (baca: Tuhan):


aih Dewa bermain benang merah

dari WTC ke Legian

berinjit-injit kecil melompati

gedung-gedung malam

aih Dewa berpantomim

menyulut api rokok

klatunya membara-bara

jatuh membakar kota


Sedang lambang, sebenarnya pun sama dengan citra. Hanya saja apreasiasi yang terjadi kepadanya bukanlah secara konvensional. Dalam Aku-nya Chairil Anwar, misalkan. Di sini kita dapati larik Aku ini binatang jalang. Namun, binatang jalang yang dimaksud di sini bukanlah binatang jalang pada sejatinya sebagai makhuk hidup. Binatang jalang di sini hanyalah lambang yang diberikan penyair pada dirinya yang memang merasa `sebagai` binatang jalang yang Dari kumpulannya terbuang.

Sekarang kita perhatikan dua kutipan `puisi` berikut:

(1)  Mungkin ini sudah saatnya, aku harus kembali

Melipat semua mimpi

Dan mendendangkan kembali sebongkah kenangan.

(2)  …

sebuah harapan kau gantungkan

di gerbang masa depan

yang teramat tandus


Pada `puisi` pertama, terlihat adanya pengorganisasian kata yang rancu. Adanya pengalokasian kata yang tidak memenuhi syarat-fungsinya. Yaitu pada larik terakhir: Dan mendendangkan kembali sebongkah kenangan.

Perhatikan! Pada larik ini kita dapati kata sebongkah yang berkorelasi dengan mendendangkan. Kendati kata sebongkah maupun sebait, misalkan, itu sama-sama mengacu-arti pada sebuah, namun lazimnya relasi dari sebongkah adalah hal-hal konkrit, batu, misalkan, sedang yang diharapkan dari mendendangkan adalah hal-hal abstraktif. Lain halnya dengan Melipat semua mimpi pada larik kedua bait `puisi` tersebut atau dalam puisi Pokok Murbei-nya Rayani Sriwidodo: sesosok kelam di bidang datar beranda, misalkan. Di sini daya imajinasi yang dimiliki oleh melipat dan di bidang datar beranda telah membebaskan mimpi dan kelam dari ikatan keabstraksian.

Begitu pun pada `puisi` berikutnya. Kerancuan, bahkan lebih jelas terlihat di sini. Secara nalar-rasional, adakah gerbang yang tandus? Mungkin akan tepat kiranya jika kata gerbang diubah menjadi ladang dan kata gantungkan diganti dengan tanam—sehingga menjadi sebuah harapan kautanam/di ladang masa depan/yang teramat tandus. Namun, memang demikianlah puisi. Sebagaimanapun rancunya, orang lain tidaklah berhak mengubahnya. Hanya penyairnyalah yang dapat menentukan, apakah puisinya akan terus dibiarkan keliru atau akan diluruskan kembali.

Terhadap hal ini, sehingga seorang penyair menjadikan puisinya incorrect, sebagaimana kedua contoh di atas, biasanya dikarenakan tingkat intelegensi bahasanya yang kurang mendukung atau kalau tidak dia tidak memperhatikan betul-betul kaidah yang ada. Atau karena faktor emosi yang menuntutnya untuk `segera` membuat puisinya jadi, dalam seketika, bahkan, sehingga dalam pengakomodasian kata pun, ia menjadi serabutan, asal comot. Atau juga karena asumsi bahwa dalam berpuisi seorang penyair diberi kebebasan dengan apa yang disebut sebagai licenciae poetica. Tentang faktor yang terakhir ini, sesungguhnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Jamal T. Suryanata, meski licenciae poetica (disebut Jamal dengan `kebebasan kreatif`) itu merupakan hak setiap penyair, namun kebebasan tersebut pun sudah tentu bukanlah kebabasan yang lepas-bebas dan tanpa dasar apapun. Dalam konteks ini, maka gramatika bahasa pun perlu diperhatikan oleh seorang penyair dalam menulis puisi.


Puisi bukanlah Teka-teki


Selanjutnya, dari hasil `pemantauan` Saini KM, didapati bahwa kita (baca: penyair pemula) dalam menulis puisi, seringkali tidak menenggang pembaca. Kita mengungkapkan pikiran-pikiran dan perasaan sejauh kebutuhan kita sendiri saja. Artinya, kalau kita sudah mengerti dan merasakan, kita menganggap segalanya sudah selesai, tidak terlintas dalam pikiran kita bahwa orang lain atau pembaca mungkin saja mendapat kesukaran untuk menghayati puisi kita. Puisi kita seringkali terkesan sebagai suatu teka-teki yang acapkali tidak dapat dipecahkan oleh pembaca. Sehingga, mau tidak mau, message yang terkandung di dalam puisi pun tidak dapat diterima oleh pembaca dan puisipun menjadi gagal.

Satu hal yang amat disayangkan. Padahal puisi bukanlah suatu teka-teki. Ia merupakan suatu bentuk pernyataan lugas, yang tidak menutup kemungkinan bagi pembaca untuk bisa memahaminya. Meski kelugasan di sini pun bukanlah kelugasan sebagaimana pada prosa. Kelugasan di sini tentunya terikat dengan hakikat puisi itu sendiri, sebagai rangkaian kata yang `padat` dan `berisi`. Ia tidaklah sepanjang-lebar cerpen dan atau novel dalam penuturannya. Kata-katanya begitu ekonomis dan partikular.


Bersikap Wajar dan Realistis


Itulah antara lain kiranya yang selama ini menjadikan kita akhirnya gagal dalam berpuisi. Emosi yang cenderung menggebu-gebu, seringkali justeru hanya mengantar pada kebuntuan dan kebekuan kreatifitas. Adanya sikap over-acting dalam berkarya di mana karya-karya yang tercipta—seringkali—begitu bombastis dan utopis.

Meski, itu pun bukan berarti kegagalan mutlak. Bagaimanapun, itu adalah `kewajaran manusiawi`. Siapapun, diakui ataupun tidak, tentunya pun pernah mengalami hal serupa: terjebak dalam fantastisme emosi.

Yang penting sekarang adalah, bahwa belajar bersikap dari kekeliruan dan kegagalan, merupakan satu hal yang teramat bijak, untuk dilakukan. Tulislah puisi secara wajar dan realistis. Dan tentunya pula, membekali diri dengan lebih banyak pengetahuan bahasa dan sastra (dalam hal ini: puisi). Karena hanya dengan semua itulah, segala bakat, segala kreatifitas yang dimiliki akan berarti dan dihargai. Kewajaran, kejujuran dan ke-amung-an adalah modal menuju kesuksesan. Termasuk dalam berpuisi.

Selamat berpuisi!