Maklumat

Tulisan-tulisan terkini dapat juga didapatkan di halaman Kompasiana di alamat https://kompasiana.com/didikaha

Khusus untuk konten-konten sastra seperti puisi, cerpen dan esai silahkan kunjungi http://blog.edelweis-art.com. Terima kasih (Penulis)

Sabtu, April 23, 2016

Adab Kotor Seekor Koruptor

Catatan Pengantar: Berikut adalah salinan teks orasi yang ditulis dan dibawakan oleh Harry Tjahjono pada aksi "Adab Kotor Seekor Koruptor" yang diadakan di Gedung KPK Jakarta pada Jum'at, 22 April 2016 yang lalu oleh Gerakan Anti Korupsi (GAK), GARAJAS, Dapoer Sastra Tjisaoek (DST), Persatuan Kartunis Indonesia (PAKARTI) dan Indonesian Street Art Database (ISAD). Aksi ini, yang didukung juga oleh seniman mural asal New York (AS), Sonic Bad, sebagaimana bisa dibaca pada teks orasi di bawah, adalah sebagai (salah satu) aksi perlawanan terhadap segala bentuk tindak korupsi termasuk eufimisme penyebutan pelaku tindak korupsi selama ini, yang semestinya disebut dengan 'Seekor Koruptor'. Salam! 



Hadirin yang terhormat. 
Assalamualaikum wr. wb. 

Saya didaulat oleh kawan-kawan seniman untuk mencoba menjelaskan Mengapa Terpidana Korupsi Layak Disebut Seekor Koruptor. Hal tersebut sesungguhnya dan terutama berkaitan dengan pemberitaan media massa yang selama ini cenderung diskriminatif, bahkan tidak adil, terhadap pelaku tindak pidana kriminal biasa dengan tindak pidana korupsi. Dengan kata lain, media massa yang gemar membesar-besarkan predikat warga masyarakat pelaku tindak pidana kriminal biasa, dan sebaliknya membikin sumir tindak pidana kriminal yang dilakukan aparat penegak hukum dan juga koruptor.

Sebagai contoh, kalau polisi berhasil menangkap dua atau tiga anak muda yang mengaku mencuri lebih dari tiga sepeda motor, misalnya, maka diberitakanlah itu di bawah judul "Komplotan Curanmor Ditangkap". Bahkan jika salah satu pencurinya masih berstatus pelajar, maka judul beritanya "Pelajar Anggota Sindikat Curanmor Dibekuk".

Kalau polisi hanya menangkap seorang perampok karena beberapa temannya berhasil buron, beritanya bisa berjudul "Gembong Komplotan Perampok Berhasil Diringkus", atau "Otak Perampokan Sadis Dibekuk" sambil terkadang ditambahkan bahwa kaki si Gembong terpaksa didor karena melawan saat ditangkap dan lain sebagainya.

Begitu juga kalau ada ibu-ibu, tukang ojek atau pengangguran tertangkap menjual beberapa amplop ganja atau sebutir dua butir pil ekstasi atau satu dua "paket" narkoba, maka judul beritanya bisa berbunyi "Kurir Sindikat Narkoba Diringkus" atau judul yang lebih hebat dan lebih seram lagi.

Lain halnya jika ada polisi, hakim, atau jaksa yang terangkap menerima suap, memakai narkoba, atau melakukan tindak kejahatan lainnya, maka selain disebut oknum juga dikategorikan sebagai polisi nakal, hakim nakal, jaksa nakal. Bahkan pernah ada wanita jaksa yang menjual barang bukti berupa ribuan butir pil ekstasi, dan laki-laki jaksa yang tertangkap tangan menerima suap milyaran rupiah, juga hanya disebut sebagai jaksa nakal. Seolah-olah tindak kriminal yang mereka lakukan itu sama dengan perbuatan anak-anak mencuri jambu tetangga belaka.

Sedangkan terhadap pelakuk tindak korupsi, media massa bersikap lebih santun. Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang belum divonis bersalah cukup disebut tersangka korupsi, setelah divonis bersalah disebut terpidana korupsi.

Padahal, sesungguhnya terpidana korupsi layak disebut seekor koruptor. Sebab, bukankah sejak dulu para karikaturis di media massa selalu menggambarkan koruptor sebagai tikus? Lalu kenapa disebut terpidana korupsi dan bukan seekor koruptor? Apalagi jika gagasan Mahfud MD membuat "kebun koruptor" menjadi kenyataan, sebutan seekor lebih cocok untuk digunakan.

Saudara-saudara yang terhormat
Para sahabat media massa dan orang-orang baik di negeri ini
Kaum petani di dusun-dusun sunyi yang terbakar matahari
Kaum nelayan yang dihempas gelombang kemiskinan
Kaum buruh di kampung-kampung kumuh kota yang angkuh
Rakyat yang sudah terlalu lama hidup melarat
Inilah saatnya kita bersatu dan bergerak
Kinilah saatnya kita melawan dan menjelaskan
Bahwa kita tidak bisa terus-menerus diremehkan
Bahwa kita tidak bisa terus-menerus direndahkan
Kesabaran kita sudah terlalu sering dilukai
Kepercayaan kita sudah terlalu sering dikhianati
Kedaulatan kita dicaplok dan dimanipulsi
Harga diri kita disamakan dengan pengemis
yang disedekahi uang receh hasil korupsi

..................................................

Saudara-saudara yang berdaulat
Rakyat kecil yang senasib sependeritaan
Inilah saatnya kita bersatu, bergerak dan melawan
Menyingkirkan pemimpin-pemimpin yang korup
dan merampok duit rakyat
Menyingkirkan pejabat-pejabat yang nyolong harta Negara
Menyingkirkan politisi-politisi yang tidak bermutu
dan bermoral busuk
Menyingkirkan wakil rakyat yang sibuk memperkaya dirinya sendiri
Inilah giliran kita tampil menjadi juru bicara
yang meneriakkan luka-luka kehidupan rakyat jelata
Kita tidak bisa hanya tinggal diam, Saudara
Dan kita tidak bisa lagi terus-menerus diremehkan.
Kita tidak bisa lagi terus-menerus direndahkan.
Kita sudah terlalu lama terhina kesabaran kita sendiri.
Kita sudah terlalu lama menghina nyali kita sendiri
Kita harus bersatu, bergerak,
dan menabuh gendang perlawanan!

Terima kasih
Wassalamualaikum wr. wb. 

Jakarta, 22 April 2016
Harry Tjahjono