Maklumat

Tulisan-tulisan terkini dapat juga didapatkan di halaman Kompasiana di alamat https://kompasiana.com/didikaha

Khusus untuk konten-konten sastra seperti puisi, cerpen dan esai silahkan kunjungi http://blog.edelweis-art.com. Terima kasih (Penulis)

Sabtu, Januari 12, 2008

Saat Cuaca Rumah tidaklah Cerah

Harapan setiap orang, siapapun, termasuk saya dan Anda, pastilah ingin 'langit' yang menaungi kita selalu cerah. Apalagi di saat hati dan pikiran kita sedang letih dan lelah. Ah, begitu teduhnya kita berada di bawah naungnya. Apalagi di sekitar kita, 'pepohonan' rindang menyejukkan.

Namun, kodratinya, langit pun takkan selamanya cerah. Ada pula saat ia menggumpalkan mendung. saat ia mengguyurkan hujan yang mengepung dan mengguyur kita dari segala arah. Ada saatnya pula ia begitu panas, menebarkan dan menghujamkan terik ke tubuh kita.

Demikian, cuaca di dalam rumah kita pun. Saat kita telah dijenuhkan dengan segala rutinitas dan kesibukan kerja dan berbagai urusan di luar, pulang ke rumah, kita tentu dengan membawa harapan adanya kecerahan dan kesejukan di sana. Bertemu dan berkumpul kembali dengan keluarga. Bercanda ria dengan istri dan anak-anak tercinta. Toh, kadang cuaca rumah yang kita dapati adalah sebaliknya. Istri yang muram tak ceria. Anak-anak yang gaduh, berlarian kesana-kemari, bermain-main seenaknya sendiri. Sementara keadaan rumah, tak ubahnya seperti kapal pecah.

Di lain sisi, sang istri pun merasakan cuaca yang sama. Setelah seharian disibukkan dengan berbagai pekerjaan dan urusan rumah: memasak, mengurus si kecil dan si kakak yang mulai nakal, membereskan ini-itu--yang seringkali tak pernah sempat terselesaikan ataupun diacak-acak kembali oleh anak-anak. Ia mengharapkan kehadiran suami sebagai tempat pelipur lara. Tempat bercerita dan menyandarkan segala keluh. Namun, yang didapatinya adalah cemberut dan muka kusut sang Arjuna yang ditekuk tak beraturan.

Demikian juga anak-anak. Mengharap kehadiran sang ayah, menggenapi keceriaan bermainnya.

Lalu, siapa yang salah? Siapa yang mesti disalahkan?

Nobody! Nobody's wrong!! Karena semuanya telah mengerjakan dan menjalankan kewajiban dan urusannya masing-masing. Tidak ada yang salah! Suami telah bekerja. Istri telah bekerja. Anak-anak pun, bermain-main, merupakan pekerjaannya.

Hal-hal yang serta-merta terjadi, berjalan secara berbarengan pada satu waktu, laju dan tempat yang sama, memang akan mudah menciptakan gesekan-gesekan dan benturan-benturan. Gesekan-gesekan dan benturan-benturan yang tidak jarang menimbulkan percikan-percikan.

Kepenatan suami sepulang bekerja, kejenuhan sang istri seharian mengurus rumah, kebosanan anak-anak bermain-main--yang kadang juga disertai omelan sang ibu, berbaur.

Menghindari gesekan-gesekan dan benturan-benturan itulah yang semestinya dilakukan masing-masing pihak. Dan, pengendalian emosi & pikiran, merupakan kunci untuk melaksanakanya. Jauhkan prasangka-prasangka yang tidak layak. Berusahalah untuk saling mengerti dan memahami kondisi yang lain, bahwa bukan hanya dirinya sendiri yang telah lelah, jenuh dan bosan (dalam hal ini adalah suami dan istri, karena anak-anak, dengan kondisi yang dimiliki, mempunyai 'kemerdekaan' untuk melakukan apapun).

Yah, tidak mudah memang. Tapi, seberat apapun sebuah rintangan, jika kita tak pernah mencoba dan berusaha menyingkirkannya, jangan berharap ia akan bergeming dengan sendirinya.

Kalau toh pada akhirnya gesekan-gesekan dan benturan-benturan terjadi, itu pun merupakan suatu kewajaran. Toh, kita masih bisa menghindari untuk tidak terjadinya gesekan-gesekan dan benturan-benturan berikutnya. Untuk meghindari percikan-percikan yang menyakitkan...

Salam!!


PS. Buat bundanya Nurul: thanks for your love!
Gak ada kamu, ada yang terasa hampa di relung dada ini..... :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar