Maklumat

Tulisan-tulisan terkini dapat juga didapatkan di halaman Kompasiana di alamat https://kompasiana.com/didikaha

Khusus untuk konten-konten sastra seperti puisi, cerpen dan esai silahkan kunjungi http://blog.edelweis-art.com. Terima kasih (Penulis)

Kamis, Mei 24, 2007

KETIMPANGAN RETORIKA: FAKTOR UTAMA KEGAGUAN PUISI


TUJUAN dari suatu komunikasi adalah terjalinnya kesepakatan antara komunikator (penyampai pesan) dengan komunikan (penerima pesan), yaitu bahwa komunikasi dapat menghasilkan feedback (respon) positif dari komunikan atas message (pesan) yang disampaikan komunikator. Adapun proses atau hal penciptaan feedback positif, oleh komunikator, disebut dengan retorika.

Namun acapkali komunikasi pun menghasilkan feedback nol ataupun negatif; suatu kondisi di mana komunikan tidak dapat menerima ataupun menolak sama sekali message yang disampaikan komunikator. Hal ini dikarenakan adanya ketimpangan-ketimpangan dalam hal retorika tersebut.

Puisi sebagai form komunikasi, pun tidak luput dari permasalahn itu. Ia, dalam penyampaiannya oleh komunikator (dalam hal ini: penyair), seringkali terkesan `gagu` bahkan tidak jarang menimbulkan misunderstanding bagi pembaca dan penikmatnya (sebagai komunikan).

Ketimpangan-ketimpangan itu biasanya terjadi karena dua hal:

1. Kesalahan memilih dan menempatkan citra dan atau lambang

2. Kegelapan makna citra dan atau lambang



Puisi adalah Organisasi Kata


Puisi adalah organisasi kata. Yaitu bahwa masing-masing kata sebagai unsur pembentuknya yang tersaji dalam citra dan lambang, haruslah saling mengisi dan melengkapi. Hubungan di antara unsur tersebut begitu erat. Baik dalam lingkup internal bait maupun antarbait. Perhubungan ini berkaitan erat dengan interpretasi puisi nantinya. Yang pada kondisinya, kesalahan mengakomodasi kata, sekecil apapun, dapat megurangi nilai dari puisi. Bahkan dapat menjadikan gagalnya puisi.

Citra
, merujuk kepada konsepsi Saini KM, merupakan gambaran dari pemahaman penyair terhadap sesuatu obyek dan sekiranya gambaran tersebut dapat menunjukkan entitas warna pikir pemahaman tadi. Seperti puisi Eka Purwaningsih: 111 berikut, yang merupakan pencitraan penyair akan berbagai teror dan tragedi yang belakangan ini melanda umat manusia di berbagai penjuru dunia—tidak terkecuali Indonesia—yang dianggap penyair sebagai “permainan benang merah” ataupun “pantomim” Dewa (baca: Tuhan):


aih Dewa bermain benang merah

dari WTC ke Legian

berinjit-injit kecil melompati

gedung-gedung malam

aih Dewa berpantomim

menyulut api rokok

klatunya membara-bara

jatuh membakar kota


Sedang lambang, sebenarnya pun sama dengan citra. Hanya saja apreasiasi yang terjadi kepadanya bukanlah secara konvensional. Dalam Aku-nya Chairil Anwar, misalkan. Di sini kita dapati larik Aku ini binatang jalang. Namun, binatang jalang yang dimaksud di sini bukanlah binatang jalang pada sejatinya sebagai makhuk hidup. Binatang jalang di sini hanyalah lambang yang diberikan penyair pada dirinya yang memang merasa `sebagai` binatang jalang yang Dari kumpulannya terbuang.

Sekarang kita perhatikan dua kutipan `puisi` berikut:

(1)  Mungkin ini sudah saatnya, aku harus kembali

Melipat semua mimpi

Dan mendendangkan kembali sebongkah kenangan.

(2)  …

sebuah harapan kau gantungkan

di gerbang masa depan

yang teramat tandus


Pada `puisi` pertama, terlihat adanya pengorganisasian kata yang rancu. Adanya pengalokasian kata yang tidak memenuhi syarat-fungsinya. Yaitu pada larik terakhir: Dan mendendangkan kembali sebongkah kenangan.

Perhatikan! Pada larik ini kita dapati kata sebongkah yang berkorelasi dengan mendendangkan. Kendati kata sebongkah maupun sebait, misalkan, itu sama-sama mengacu-arti pada sebuah, namun lazimnya relasi dari sebongkah adalah hal-hal konkrit, batu, misalkan, sedang yang diharapkan dari mendendangkan adalah hal-hal abstraktif. Lain halnya dengan Melipat semua mimpi pada larik kedua bait `puisi` tersebut atau dalam puisi Pokok Murbei-nya Rayani Sriwidodo: sesosok kelam di bidang datar beranda, misalkan. Di sini daya imajinasi yang dimiliki oleh melipat dan di bidang datar beranda telah membebaskan mimpi dan kelam dari ikatan keabstraksian.

Begitu pun pada `puisi` berikutnya. Kerancuan, bahkan lebih jelas terlihat di sini. Secara nalar-rasional, adakah gerbang yang tandus? Mungkin akan tepat kiranya jika kata gerbang diubah menjadi ladang dan kata gantungkan diganti dengan tanam—sehingga menjadi sebuah harapan kautanam/di ladang masa depan/yang teramat tandus. Namun, memang demikianlah puisi. Sebagaimanapun rancunya, orang lain tidaklah berhak mengubahnya. Hanya penyairnyalah yang dapat menentukan, apakah puisinya akan terus dibiarkan keliru atau akan diluruskan kembali.

Terhadap hal ini, sehingga seorang penyair menjadikan puisinya incorrect, sebagaimana kedua contoh di atas, biasanya dikarenakan tingkat intelegensi bahasanya yang kurang mendukung atau kalau tidak dia tidak memperhatikan betul-betul kaidah yang ada. Atau karena faktor emosi yang menuntutnya untuk `segera` membuat puisinya jadi, dalam seketika, bahkan, sehingga dalam pengakomodasian kata pun, ia menjadi serabutan, asal comot. Atau juga karena asumsi bahwa dalam berpuisi seorang penyair diberi kebebasan dengan apa yang disebut sebagai licenciae poetica. Tentang faktor yang terakhir ini, sesungguhnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Jamal T. Suryanata, meski licenciae poetica (disebut Jamal dengan `kebebasan kreatif`) itu merupakan hak setiap penyair, namun kebebasan tersebut pun sudah tentu bukanlah kebabasan yang lepas-bebas dan tanpa dasar apapun. Dalam konteks ini, maka gramatika bahasa pun perlu diperhatikan oleh seorang penyair dalam menulis puisi.


Puisi bukanlah Teka-teki


Selanjutnya, dari hasil `pemantauan` Saini KM, didapati bahwa kita (baca: penyair pemula) dalam menulis puisi, seringkali tidak menenggang pembaca. Kita mengungkapkan pikiran-pikiran dan perasaan sejauh kebutuhan kita sendiri saja. Artinya, kalau kita sudah mengerti dan merasakan, kita menganggap segalanya sudah selesai, tidak terlintas dalam pikiran kita bahwa orang lain atau pembaca mungkin saja mendapat kesukaran untuk menghayati puisi kita. Puisi kita seringkali terkesan sebagai suatu teka-teki yang acapkali tidak dapat dipecahkan oleh pembaca. Sehingga, mau tidak mau, message yang terkandung di dalam puisi pun tidak dapat diterima oleh pembaca dan puisipun menjadi gagal.

Satu hal yang amat disayangkan. Padahal puisi bukanlah suatu teka-teki. Ia merupakan suatu bentuk pernyataan lugas, yang tidak menutup kemungkinan bagi pembaca untuk bisa memahaminya. Meski kelugasan di sini pun bukanlah kelugasan sebagaimana pada prosa. Kelugasan di sini tentunya terikat dengan hakikat puisi itu sendiri, sebagai rangkaian kata yang `padat` dan `berisi`. Ia tidaklah sepanjang-lebar cerpen dan atau novel dalam penuturannya. Kata-katanya begitu ekonomis dan partikular.


Bersikap Wajar dan Realistis


Itulah antara lain kiranya yang selama ini menjadikan kita akhirnya gagal dalam berpuisi. Emosi yang cenderung menggebu-gebu, seringkali justeru hanya mengantar pada kebuntuan dan kebekuan kreatifitas. Adanya sikap over-acting dalam berkarya di mana karya-karya yang tercipta—seringkali—begitu bombastis dan utopis.

Meski, itu pun bukan berarti kegagalan mutlak. Bagaimanapun, itu adalah `kewajaran manusiawi`. Siapapun, diakui ataupun tidak, tentunya pun pernah mengalami hal serupa: terjebak dalam fantastisme emosi.

Yang penting sekarang adalah, bahwa belajar bersikap dari kekeliruan dan kegagalan, merupakan satu hal yang teramat bijak, untuk dilakukan. Tulislah puisi secara wajar dan realistis. Dan tentunya pula, membekali diri dengan lebih banyak pengetahuan bahasa dan sastra (dalam hal ini: puisi). Karena hanya dengan semua itulah, segala bakat, segala kreatifitas yang dimiliki akan berarti dan dihargai. Kewajaran, kejujuran dan ke-amung-an adalah modal menuju kesuksesan. Termasuk dalam berpuisi.

Selamat berpuisi!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar