Maklumat

Tulisan-tulisan terkini dapat juga didapatkan di halaman Kompasiana di alamat https://kompasiana.com/didikaha

Khusus untuk konten-konten sastra seperti puisi, cerpen dan esai silahkan kunjungi http://blog.edelweis-art.com. Terima kasih (Penulis)

Kamis, Mei 24, 2007

KETIKA MANUSIA HARUS (SALING) MENJAGA CINTA


KETIKA seseorang memutuskan untuk melakukan sesuatu, sesungguhnya ia telah meneguhkan dirinya pada apa yang dinamakan cinta. Kegiatannya berjalan, berangkat dari rasa cinta yang bangkit dalam dirinya. Seorang ayah yang bersusah payah mencari nafkah di bawah sengatan terik mentari dan cekaman gigil dingin hujan, ia melakukan hal itu karena kecintaannya pada anak-istrinya, pada keluarganya. Juga seorang anak yang mati-matian menjalani pendidikan, semata demi masa depannya yang tidak diingininya suram. Atau seorang sahabat, kakak, adik, kerabat yang mau melakukan sesuatu demi orang lain, demi keluarga, demi karib, demi saudaranya yang padahal kadang memberatkan dirinya, karena ia tidak ingin mengecewakan mereka, karena ia mencintai mereka.

Sunnatullah
Demikianlah, cinta adalah sunnatullah, suatu keniscayaan. Cinta ada dan akan terus mengada sepanjang kehidupan itu ada. Cinta yang membuat manusia punya alasan untuk meneruskan hidupnya. Cinta yang membuat manusia mau bertahan di belantara liar dunia ini. Cinta yang membuat dunia terasa damai dan indah.
Ketika Adam baru diciptakan Allah, betapa ia merasakan hidup sebagai suatu kehampaan, meski dalam glamour kemewahan surga. Namun, saat kemudian Allah ciptakan Hawa, iapun merasakan hidup menjadi bergairah. Hidup sebagai sesuatu yang indah. Meski kemudian dalam penuh kesusahan dunia. Hawa adalah sebuah cinta bagi Adam.

Tragedi
Namun, ada kalanya juga cinta mengalami dekadensi, erosi. Bahkan seringkali tumbuh secara tidak wajar, liar. Yang kemudian menimbulkan ekses yang negatif, naïf, fatal: pertentangan, pertikaian, bahkan peperangan. Hal ini terjadi karena ketidakmampuan mengendalikan cinta: salah menafsirkan cinta, menempatkan cinta pada tempat yang tidak semestinya.
Kisah Kabil adalah kisah yang bisa dijadikan ibrah atas tragedi yang terjadi karena hal itu. Ketika demikian besarnya cinta Kabil pada Iqlima namun ia tidak bisa mengejawantahkannya dengan `benar`, hingga kemudian yang timbul adalah ketidakpuasan. Kedengkian. Dan, pembunuhan.
Demikian halnya kisah Bandung Bondowoso - Roro Jonggrang, Dayang Sumbi - Sangkuriang yang harus mengalami sad ending karena tidak bisa menyikapi cinta yang ada.
Juga ketika orang-orang melanglang dunia demi mencari kekuasaan, invasi ke negara-negara lain, atau ketika mereka menduduki jabatan, memegang kekuasaan yang kemudian sewenang-wenang, menumpuk kekayaan dengan segala cara, korupsi, sebenarnya itu pun wujud dari sebuah cinta. Kecintaan pada bangsanya, pada dirinya-untuk memperbaiki nasib. Sayang, pewujudan cintanya tidak dijalankan pada lajur yang semestinya. Karena apa yang terjadi pada pewujudan cinta tersebut, justeru dengan merusak ke-cinta-an lain, merusak nasib yang lain.

Cinta Semestinya
Demikian, sehingga cinta pun tidak bisa disewenang-wenangkan.
Benar, cinta adalah hak asasi. Namun, bahwa hak asasi itu pun ada berbarengan dengan hak asasi-hak asasi orang lain. Maka, tidak benar, demi cinta, karena cinta, kita menghalalkan segala cara.
Seyogyanyalah kita saling menjaga cinta yang ada pada diri kita. Hendaknya kita arif dalam menyikapi cinta, mengejawantahkan cinta. Hingga tragedi ala Kabil - Habil, Dayang Sumbi - Sangkuriang, Malinkundang, Romeo - Juliet, Roro Jonggrang - Bandung Bondowoso, perang dunia, kerusuhan Poso, kerusuhan Ambon, pertikaian tanah Rencong, teror Kuta, perkelahian pelajar, tawuran antarwarga, tidak lagi terulang. Kita bisa menghindarinya. Setidaknya, meminimalisasikannya.
Cinta itu anugerah. Sepatutnyalah kita menjaga anugerah itu agar tidak menjadi sesuatu yang tercela dan menimbulkan ketercelaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar