Maklumat

Tulisan-tulisan terkini dapat juga didapatkan di halaman Kompasiana di alamat https://kompasiana.com/didikaha

Khusus untuk konten-konten sastra seperti puisi, cerpen dan esai silahkan kunjungi http://blog.edelweis-art.com. Terima kasih (Penulis)

Selasa, Juni 12, 2007

Memperingati Hari Antimadat Sedunia (26 Juni)

SAAT HIDUP BEGITU BERAT DAN MENYAKITKAN
NARKOBA BUKANLAH OBAT DAN PENYELESAIAN

IDEALNYA, hidup adalah sesuatu yang indah. Hidup, kita jalani dengan penuh keindahan. Tanpa beban. Penuh kemudahan. Apa yang kita inginkan dalam hidup ini dapat kita raih, dapat kita capai dengan penuh kemudahan.

Kehidupan rumah yang harmonis. Lingkungan yang ramah dan bersahabat. Studi yang lancar. Kerja yang nyaman.

Namun hidup, seringkali, memang tak seindah yang dibayangkan. Kenyataan hidup, lebih serring bertentangan dengan yang kita idamkan. Hidup sebagai sesuatu yang berat. Hidup sebagai hal yang menyakitkan.

Kacaunya kehidupan rumah. gagalnya hubungan dengan lingkungan. Gagalnya studi. Beragamnya persoalan kerja.

Cita-cita hidup yang gagal mendapatkan pencapaiannya, yang pada kondisinya, memang begitu menekan kita, memberatkan kita. Membuat kita lelah dan sakit.

Kita pun kemudian mencoba mencari penyelesaiannya. Mencoba mengangkat beban itu.

Kesana-kemari kita berlari-lari mencari jawaban. Mencari pertolongan. Mencari obat, penawar atas kesakitan hidup yang kita rasakan.

Namun, tak jarang kita pun seringkali tersasar, keblinger, salah mencari penyelesaian.

Salah satunya, pada narkoba.

Ya, narkoba!

Narkoba, yang dengan begitu meyakinkan, menawarkan pertolongan. Menawarkan penyelesaian atas kesulitan hidup kita, mengangkat beban berat hidup kita.

Dan, memang, kita pun mendapatkannya, mendapatkan pertolongan itu. beban hidup yang begitu menghimpit, dengan kehadiran narkoba, serasa terangkat dan terlepas dari diri kita. Kesakitan hidup yang begitu nyeri merajam, serasa hilang dengan datangnya narkoba.

Narkoba, ibarat pahlawan bagi kita atas kesulitan hidup yang kita rasakan.

Toh sebenarnya, itu hanyalah utopia. Hanya euforia utopis. Hanya fatamorgana belaka. Karena pada saatnya kelak, justeru narkobalah yang akan merampas hidup kita.

Narkoba bukanlah penyelesaian yang bisa membuat hidup lebih hidup. Narkoba hanyalah "setan" yang membuat berat beban hidup kian berlipat. Membuat persoalan hidup semakin rumit. Menjadikan kita budak atas penderitaan jiwa dan raga.

Sudah banyak bukti kita saksikan. Tak kurang berita di media massa: radio, suratkabar, televisi ataupun internet yang mengungkap sekian juta orang yang akhirnya hanya tambah merana gara-gara narkoba. Bahkan tidak sedikit di antaranya yang akhirnya mesti kehilangan nyawa. (Sekedar gambaran, berdasarkan data dari BNN, sekitar 1,5 persen dari seluruh populasi penduduk Indonesia, atau sekitar 3,2 sampai 3,6 juta orang Indonesia merupakan pemakai narkoba yang mana sekitar 15 ribu orang setiap tahunnya akhirnya meregang nyawa gara-gara narkoba. ironisnya, 78 persen korban tewas tersebut merupakan anak muda berusia antara 19-21 tahun.)

Akankah kita mengulangnya?

Akankah kita membiarkan kebodohan itu, kekonyolan itu terulang pada diri kita?

Seyogyanya kita sadari dan perhitungkan benar-benar segala keputusan kita, segala tindakan kita. Sesungguhnya Tuhan takkanlah memberikan beban, memberikan kesulitan pada kita di luar kemampuan kita. Saat Dia memberikan beban pada kita, saat itu pula Dia siapkan, Dia berikan penyelesaiannya. Inna ma'al-'usri yusran; sesungguhnya bersama kesulitan itu disertakan kemudahan. Demikian janji-Nya dalam salah satu firman-Nya.

Dan, kerja keras tanpa mengenal putus asa, disertai keimanan dan kepasrahan diri sepenuhnya atas kuasa-Nya, itulah sebenar-benar penyelesaian. Bukannya melarikan diri dari persoalan, dan menyerahkan diri pada "setan". Pada narkoba.

Ingatlah, narkoba bukan teman. Bukan obat. Bukan penyelesaian.

Ia nyata mengancam kita di balik "senyum"-nya yang menawan.

Senyum narkoba adalah senyum setan. Senyum kesengsaraan hidup kita.

Salam!


ADAKAH KAU TAHU, ANAKKU?

--in memoriam: Laleh - Laden

adakah dunia ini bulat, anakku?
ataukah ia sebuah tabung kosong?
tidak adakah orang-orang sae lakon panggung kita?
kenapa harus Anoman yang elek yang membumihanguskan Alengka
bukannya Rama yang gumagus itu?
kenapa Karna yang menjadi tokoh Kurusetra
padahal ia hanyalah seorang anak buangan?
kenapa harus Einstein yang amburadul itu
yang menuntaskan omong-kosong sains?
kenapa harus Edison?
kenapa harus Muhammad yang ummi itu?
kenapa, anakku?
kenapa harus Sumanto, Amrozi, ...?
adakah Tuhan membisikkan nawaitu-nya membangun dunia ini
kepadamu, ngger; nduk?
lalu kenapa harus ada rasionalitas di meja makan kita
jika pisau-pisaunya tak mampu memisahkan Laleh - Laden?
tak mampu membedah dan membelah kegelisahan mereka yang
berlaksa-laksa tahun
menjadi mimpi buruk yang
menggelisahkan tidur mereka?
anakku,
adakah kau tahu?

210703/250903


Sabtu, Juni 02, 2007

MENGATASI DEPRESI KARENA SAKIT HATI

SAKIT HATI, baik karena diputus pacar, difitnah orang ataupun gagal melakukan suatu kerjaan, suatu usaha, memang satu hal yang sangat menjengkelkan.

Sering membuat kacau urusan bahkan juga membuat kita depresi dan patah semangat. Bahkan Megi Z. pun sempat 'berkomentar', "... lebih baik sakit gigi daripada sakit hati ..." (padahal sakit gigi sendiri sudah begitu menjengkelkannya?!)

Tapi bagaimanapun, yang namanya sakit, penyakit, pasti ada obatnya. Kullu daa-in dawaa-un. Termasuk untuk sakit hati itu.

Dan bicara soal obat sakit hati, ada 'resep' yang kiranya bisa kita coba manfaatkan.

Hadapi dengan Lapang Dada

Melupakan hal-hal yang membuat kita depresi, membuat kita sakit hati, secara teoritis, memang ada benarnya. Tapi, meski lupa itu juga sifat manusia, toh kadang 'melupakan' justeru membuat sakit hati tambah nyeri. Karena biasanya, makin dilupakan, makin lengket saja kenangan menempel di ingatan.

So?

Ya, nikmati saja! Dalam arti, tidak usah kita ngotot harus melupakan, harus menyingkirkan masa lalu. Toh, ia pun bagian dari keberadaan kita hari ini dan esok hari. Tanpa masa lalu, tidak ada cerita kita hari ini dan esok hari. Dan bila perlu, kita buatkan file-nya, kita 'diary'-kan. Dengan catatan, kita melakukannya dengan lapang dada, dengan pikiran jernih.

Coba Pahami dan Mengerti

Kita buatkan dokumennya, setidaknya, untuk bahan introspeksi. Sebagai parameter untuk kita melangkah lebih jauh. Segala kegagalan, keruwetan, kekacauan, kita 'garisbawahi'. Kita pahami dan lalu coba kita mengerti, mengapa dan bagimana itu terjadi. Untuk selanjutnya, kita ambil hikmahnya, agar tidak terulang di kemudian hari. dan yang terpenting, kita dapat menyadari, jika segala sesuatu itu punya arti, meski tidak kita mengerti. Hal kegagalan sekalipun. Mungkin dengan kegagalan, akan menjadikan kita lebih baik sekarang dan untuk masa yang akan datang.


Percayalah, Tuhan tidak akan membebani hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak sanggup dipikulnya.

Bicarakan dengan Teman

Tidak bisa? Masih tetap ruwet? Ya, mungkin kita butuh orang lain utuk 'curhat'. Orangtua, kakak, saudara, teman atau siapa saja yang bisa diajak 'bicara' tentang apa yang sedang kita alami, yang membuat kita 'break'. Tidak usah risih atau malu-malu. Toh kita, manusia, adalah zoon politicon, yang diciptakan untuk hidup mesti bersama-sama dengan yang lain. Ya, barangkali saja dengan kita 'curhat' ke orang lain, persoalan bisa terselesaikan. Atau setidaknya, ada sedikit beban yang bisa terangkat. Ada yang menemani kesuntukan kita. Bukan berarti menyusahkan orang lain sih. Tapi, hidup untuk saling mengisi dan melengkapi, bukan? Untuk saling berbagi rasa?!

Pasrah dengan Yang di Atas

Belum berhasil juga? Mungkin memang ada yang 'error' dengan kita. So, jika sudah begitu, kiranya kita perlu pendekatan lagi dengan Yang di Atas. Toh Dia yang menciptakan segala keadaan kita, yang menentukan segala nasib kita. Mungkin selama ini kita sudah 'menjauhi'-Nya. Dan, dengan 'kesusahan' yang kita alami, Tuhan ingin menegur kita untuk 'kembali'. Saat segala usaha tidak bisa lagi memberi jawaban untuk semua soal, doa adalah satu-satunya hal yang masih dapat diharapkan. Tentu, kita melakukannya dengan sepenuh kepasrahan hati, tidak ada rasa curiga kalau Tuhan akan tidak menerima. Tuhan itu bagaimana kita memandang, bagaimana kita menilai-Nya. Jika kita memandang-nya baik, Tuhan 'pasti' baik. Jika kita menilai-Nya tidak baik, ya ... akanlah kesusahan selamanya kita alami. Toh Tuhan sendiri yang menjanjikan, "Ud-'unii astajib lakum" (berdoalah, mintalah pada-Ku, niscaya Aku kabulkan!)

Oke, semoga sakit hati kita, segala kesusahan kita, tidak terus berkelanjutan.

Salam!