Maklumat

Tulisan-tulisan terkini dapat juga didapatkan di halaman Kompasiana di alamat https://kompasiana.com/didikaha

Khusus untuk konten-konten sastra seperti puisi, cerpen dan esai silahkan kunjungi http://blog.edelweis-art.com. Terima kasih (Penulis)

Selasa, Mei 22, 2007

CINTA TERPENDAR

JAKARTA. Sore. Langit biru. Awan berarak, menebarkan angin dingin, sisa hujan deras barusan.


Di beranda rumah. Aku masih terdiam di samping Ibu. Belum sepatah katapun keluar dari mulutku. Aku tak berani menjawab. Apalagi membantah. Ibu terlalu bijak untuk kudebat.

"Asih, Ibu tidak bermaksud menekanmu, memaksamu untuk segera menikah. Pun tentang Irwan, kalau kamu merasa tidak cocok, Ibu juga tidak memaksa. Toh, Ibu juga sudah merasakan, betapa perkawinan, betapa rumah tangga yang tanpa dilandasi cinta, begitu berat terbina. Meski tidak mustahil, cinta itu pun dapat hadir seiring kebersamaan yang terus dijaga." Ibu kembali menjeda kata-katanya. Nampak kini pandangannnya beralih, menerawang angkasa. Seperti mengenangkan sesuatu. Sejarah hidupnya.


Ya, Ibu dan almarhum Bapak memang menikah tanpa didasari cinta. Mereka menikah hanya karena orangtua. Orangtua mereka yang saling berteman akrab. Mereka menikah hanya karena keegoisan orangtua yang ingin mempererat hubungan dengan saling menjodohkan anak-anak mereka: Ibu dan Bapak. Entah itu dengan atau tanpa persetujuan Ibu dan Bapak.


Meski akhirnya Ibu dan Bapak pun dapat menegakkan rumah tangga: saling menerima dan mengasihi dan pula kemudian melahirkan kami: aku; Mbak Pipit yang kini ikut suaminya dinas di Yogya; Mas Anto yang sekarang di Lampung bersama istri dan kedua anaknya; juga Wawang, adikku dan juga saudaraku satu-satunya yang masih setia tinggal bersama ibu dan merawatnya, yang juga telah menikah.


"Asih," Ibu kembali menatapku. "Ibu harap kamu mengerti. Ibu hanya mau mengingatkan bahwa usiamu kini telah lebih dari tiga puluh tahun. Wawang pun sudah menikah. Ibu sendiri juga sudah merasa tua. Ibu takut kamu lupa dengan kewajiban itu. Kamu tidak memikirkan perkawinan."


Kutatap wajah Ibu. Kutatap wajah yang mulai berkerut di sana-sini itu. Kutatap mata Ibu. Mata yang selalu menyejukkanku kala kegerahan menyergap hidupku.


Ada pengharapan yang tulus menyemburat dari mata Ibu.


Kuraih tangan Ibu yang menggeletak di atas meja yang membatasi kami.


Aku mencoba tersenyum. Meski begitu getir di bibir.


"Tidak, Bu. Asih tidak lupa. Asih juga tahu kewajiban itu.


"Hanya, kok ya Asih belum juga merasa siap."


"Kesiapan apalagi, Asih? Sebagai wanita, kamu telah cukup mapan dengan keadaanmu sekarang. Kamu punya titel. Kamu juga punya karir."


"Entahlah, Bu. Asih sendiri tidak tahu."


"Lho?" Ibu masih menatapku.


Aku mengalihkan kembali pandangan. Ke langit biru. Kuhela nafas dalam-dalam.


"Atau, kau masih mengharapkan Tirta?"


Ah, Ibu. Kenapa kau harus menyebut nama itu? Bahkan aku sendiri tidak tahu apakah Tirta masih juga mengharapkanku.


Meski, memang benar. Keenggananku untuk menjalin hubungan dengan lelaki, untuk membina rumah tangga selama ini, karena memang di dalam hatiku, masih mengganjal bayang Tirta, lelaki yang telah lebih dari empat tahun aku ‘tinggalkan’ namun juga masih kucintai.


"Benar, kan, Sih?"


"Tapi, mungkinkah, Bu?" kini balik aku yang bertanya. Entahlah. Tiba-tiba kalimat itu menyeruak dari dalam diriku. Seperti kerinduan itu yang tiba-tiba saja muncul.


Ah, Tirta. Andai waktu bisa diputar kembali.


Ibu menghela nafas panjang.


"Dulu, ketika kau hendak pergi ke Jepang, kau sendiri yang bersikeras untuk mengakhiri ‘hubungan’ dengan Tirta. Saat Ibu bilang apakah itu tidak akan menganggumu, kau malah bilang itu demi ketenangan dan keleluasaan kalian. Karena kau tak ingin membelenggu Tirta dan juga dirimu dengan `kepastian` hubungan. Belum tentu lima, sepuluh tahun kau bakal kembali, begitu ujarmu. Dan kau tak ingin selama itu, Tirta dan juga dirimu terbebani pikiran saling menunggu.


"Ketika kau juga tak pernah menyinggung dan mengeluh tentang Tirta pada tahun-tahun kemudian, Ibupun berpikir mungkin keputusanmu itu memang benar. Ibu pun merasa lega.


"Namun, sekarang, ketika ternyata kau masih memendam perasaan itu, ...


"Ibu tidak mengerti, Asih. Terus terang Ibu tidak mengerti kenapa kamu tega membebani diri dengan persoalan, dengan pikiran yang sebenarnya bisa kamu bagi dengan orang lain, dengan Ibu?!"


"Bu, pada mulanya Asih memang berpikir semuanya akan baik-baik saja. Dengan jarak yang tidak lagi dekat, Asih pikir itu suatu kesempatan untuk saling menata diri. Mengevaluasi diri. Mengevaluasi ..."


"Tapi akhirnya, kau tak mampu melupakannya?"


Lama aku terdiam. Ibu benar. Aku memang tak pernah bisa melupakan Tirta. Semakin aku menghindar, semakin bayang Tirta lekat menguntitiku.


"Bu, besok Asih mau ke Brebes. Menemui Eno. Sudah lama sejak kepergian Asih ke Jepang, Asih tak lagi bertemu dengan Eno."


"Menemui Tirta?"


"Entahlah. Tapi yang jelas, Asih tidak ingin terus larut dalam kubang ketidakpastian."


"Terserah kamu, Asih. Ibu hanya ingin kamu bahagia. Ibu tidak ingin anak-anak Ibu hidup menderita."


Aku tersenyum. Kembali merengkuh tangan Ibu di atas meja.


Langit meredup. Semburat jingga di tepi barat, menyiratkan siluet alam yang temaram.


Angin kian beku.


* * *




JAKARTA - Brebes. Sepanjang perjalanan pikiranku terus melayang-layang berkejaran dengan bayang Tirta, dengan bayang-bayang masa lalu dan juga impian-impian yang terus berkelebatan.


Enam belas tahun yang lalu, saat pertama kali kukenal, Tirta adalah seorang remaja dengan ambisi dan vitalitas hidup yang tinggi. Dia begitu idealis. Dia, dan juga Eno, adalah teman SLTA-ku yang kutempuh di Brebes mengikuti dinas Bapak. Meski kami (aku dan Tirta) tak pernah satu kelas, kami berteman baik. Toh kami kerap bertemu. Kami sama-sama aktif di sekolah. Aku aktif di paskibra dan pramuka sedang Tirta aktif di kesenian baik senirupa maupun teater. Dengan Eno sendiri, sejak kelas satu aku dan dia satu kelas. Hanya dia tidak aktif di sekolah—namun dia merupakan anak yang pandai. Sampai kemudian, memasuki tahun ketiga sekolah, Tirta mencurahkan isi hatinya, perasaan cintanya padaku. Entah, aku pun tak kuasa menolak. Dan, kamipun memulai babak-babak kebersamaan baru


Namun aku dan Tirta ternyata memang cenderung bertentangan. Baik dalam sikap, sifat, prinsip. Toh, kami tetap mempertahankan kebersamaan. Karena cinta, bagi kami, adalah satu sarana untuk merengkuhi sesuatu yang sulit ataupun mustahil terengkuhi dengan apapun kecuali cinta.


Dan Eno, dialah yang kerap memberiku semangat kala kelelahan menyergap langkah-langkahku dalam menjajari Tirta.


Sekian tahun aku mencoba menjalin kebersamaan dengan Tirta. Sekian tahun yang panjang dan melelahkan. Hingga aku benar-benar lelah. Letih. Tak berdaya mengimbangi gerak dan langkah Tirta. Dan, akhirnya kuputuskan melepas diri dari Tirta, melepas diri dari kehidupannya, seiring kepergianku ke negeri sakura; mutasi kerja dan juga melanjutkan studi atas beasiswa dari kantor tempatku bekerja, sebuah perusahaan agribisnis internasional. Terakhir, kudengar, Tirta sendiri menetap di Bali—setelah kepergianku itu, namun hanya bertahan setahun dan kemudian pindah ke Yogya namun akhirnya pun kembali ke Brebes. Dan, dua tahun yang lalu, saat aku mengikuti sebuah simposium di Bremen, Jerman, aku dengar dia pameran lukisan di Hamburg, sebuah kota yang tidak begitu jauh dari Bremen. Sayang, jadwalku yang padat dan sempitnya waktu yang tersedia, tidak memungkinkanku untuk bertemu dengannya.


"Mbak, Mbak, bangun, Mbak. Mbak turun di Brebes, kan?” suara lembut penumpang di sebelahku, seorang gadis duapuluhan, disertai guncangan halus tangannya di lenganku, membuyarkan lamunanku.


Ah, Tirta, semoga kau masih seperti yang dulu.


* * *




SORE. Di beranda.


Ibu masih menerawang angkasa. Menerawang awan-awan yang mulai menggumpal.


"Besok Asih mau kembali ke Jepang, Bu. Asih tidak jadi mutasi pulang tahun ini. Asih sudah mengajukan perubahan ke perusahaan dan itu sudah di-acc."


Ibu masih diam. Matanya masih mengangkasa. Namun jelas kulihat keletihan menggelayutinya.


"Mungkin Asih bisa memulai lagi sesuatu yang lebih berarti. Asih..."


"Ibu jadi teringat dengan almarhum bapakmu, Asih.


"Andai Bapak masih bersama kita."


"Maafkan Asih, Bu.


"Mungkin suratan nasib Asih harus begini."


"Tapi suratan nasib, kita sendirilah yang menulisnya."


"Karena itu Asih ingin memulai dengan lembar baru yang lebih bersih lagi, Bu."


Ibu menghela nafas. Sejenak menatapku.


"Pergilah, kalau kau merasa harus pergi. Ibu hanya mohon kau mau mengerti bahwa Ibu kini semakin tua. Ibu semakin letih, Asih."


Aku tak mampu lagi berkata. Hanya mata yang berkaca-kaca. Menahan nyeri yang menyentak-nyentak di benak.


Tirta kini telah tiada. Setahun yang lalu, sebuah kecelakaan telah merenggut nyawanya, saat ia hendak ke rumah sakit mengantar Eno, istrinya.


Mendung berarak. Hujan pecah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar